Ingatan saya kembali terulang kala menatap piagam-piagam yang pernah
diberikan pada saya ketika diundang dalam sebuah acara/event.
Sayangnya.. beberapa piagam itu sudah tak terbentuk, ada yang sudah
keriting dan banyak juga yang sobek lantaran tak terselamatkan karena
musibah banjir beberapa tahun yang lalu. Ada sedih di hati tatkala hanya
bisa memandanginya sambil memungut lalu membuangnya ke tempat sampah.
Sambil mencoba menghibur diri, saya berkata dalam hati “Tak mengapa, ini
hanya lembaran kertas yang tak terlalu berarti, karena yang berarti
adalah pengalaman itu sendiri”.
Ya. Saya mulai diundang untuk
tampil di depan umum saat berakhir status sebagai pelajar SMA. Ketika
itu musim libur sekolah dan pergantian semester. Sementara di tengah
aktivitas saya yang masih ngambang saat itu karena menunggu
pengumuman PTN, salah seorang teman pengajian menghubungi saya dan
meminta saya untuk mengisi kajian di kampus STIE Nusantara yang kini
sudah berganti nama menjadi IBN (Institut Bisnis Nusantara). Dalam
pikiran saya kala itu, ini merupakan peluang untuk saya mengasah bakat
dan potensi diri yang barangkali masih terpendam.
Alhasil tibalah waktu
di mana saya mengisi kajian muslimah di kampus tersebut. Saya
terkaget-kaget karena pesertanya kala itu hampir mencapai 50 orang dan
ketika saya diminta KTP sebagai bukti identitas pengisi materi, salah
seorang panitia mengernyitkan dahi dan mengatakan “Masya Allah ternyata
mbak masih 17 tahun ya. Muda sekali”. Seketika saya menunduk, antara
malu karena dibilang muda dengan perasaan tidak enak karena saat saya
menyampaikan materi saya tidak bilang bahwa saya lebih muda dari peserta
kajiannya yang rata-rata sudah menempuh bangku kuliah tingkat tiga.
Sesampainya di rumah, saya
mengadu pada ibu saya dan menceritakan kegelisahan saya di mana saya
kapok menjadi pembicara dan tidak mau lagi kalau diundang mengisi
kajian. Namun, ternyata Allah berkehendak lain, sampai di suatu hari
saya sudah menjadi mahasiswi dan diminta memberi sambutan serta memimpin
pembacaan doa ketika ada seminar pendidikan dari jurusan. Saya, yang
ketika itu sebenarnya sudah kapok tampil di depan umum ternyata masih
ditodong untuk tampil dan mau tidak mau karena perintah dosen, saya pun
menurut.
Saya mulai maju ke mimbar sambil memegang microphone
dengan tangan sedikit gemetar. Saya memberikan sambutan mewakili ketua
pelaksana seminar tersebut. Saya mulai menata kembali bahasa saya,
menyampaikan perlahan kalimat demi kalimat hingga akhirnya sambutan pun
usai. Dan saya kembali berhasil tampil di depan umum.
Namun
nyatanya, tepuk tangan dari peserta seminar tak membuat saya puas. Saya
justru kapok, untuk tidak mau tampil lagi karena merasa saat itu saya
masih junior di kampus, sementara peserta seminar ada yang sudah senior
di tingkat akhir. Lagi-lagi saya tidak pede, bukan karena soal kemampuan
saya tampil di depan umum melainkan soal usia. Ya! Saya selalu
mempertimbangkan ketika mau isi acara, apakah peserta acara tersebut
lebih muda dari saya atau tidak. Kalau lebih tua, saya memilih enggan
untuk tampil di depan mereka.
Seiring berjalannya waktu, saya
rajin mengikuti acara seminar atau kajian terutama yang berkaitan dengan
kemuslimahan. Sampai suatu saat saya menyimak seorang pembicara wanita
yang mengatakan “Tidak penting siapa dirimu, seperti apa dirimu. Yang
terpenting adalah ilmu yang bisa kamu bagi”. Tiba-tiba pernyataan
tersebut membuat saya begitu syok. Saya langsung memohon ampun pada
Allah, bahwa selama ini saya salah. Saya selalu memikirkan penilaian
peserta terhadap diri saya yang masih muda kala itu ketimbang memikirkan
ilmu yang saya bagi itu sudah benar dan bisa diterima oleh peserta atau
belum.
Maka, seiring berjalannya waktu.. Kemantapan itu
senantiasa hadir dalam diri, ketika saya diminta menjadi pembicara
Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa SMA, kemudian menjadi pembicara kajian
muslimah di IPB, STT-PLN, KAMMI Uhamka dan undangan mengisi acara lain
yang kesemua itu membuat saya harus tampil di depan umum, pada akhirnya
membuat saya berpikir untuk bisa berbagi dan tak peduli apa tanggapan
atau penilaian orang terhadap diri pribadi saya. Karena yang saya
niatkan adalah dalam rangka berdakwah atau berbagi ilmu. Justru yang
jadi persoalaan adalah ketika usai mengisi materi saya selalu bertanya
pada panitia acara, apakah saya sudah berhasil menjadi pembicara seperti
yang dikehendaki mereka?
Dan pada akhirnya, setiap kesempatan
untuk berbagi ilmu dengan tampil di depan umum tak pernah saya lewatkan.
Saya selalu mempelajari dan melihat langsung bagaimana sosok pembicara
yang handal. Mulai dari gerak-geriknya, kata per kata, bahasa tubuhnya
sampai kemampuan mengelola ice breaking demi tercapainya misi
berbagi ilmu yang diharapkan. Dan hal itu masih saya lakukan ketika
sudah berumah tangga saat ini, karena bagi saya… seorang muslimah,
perannya tidak hanya sebagai anak, istri maupun ibu saja. Dia dapat
sangat efektif menjadi contoh yang baik kepada orang lain dengan menjadi
baik hati, ramah berbicara, bisa menawarkan bantuan, keprihatinan
berbagi serta sukacita. Dan dia juga dapat menggunakan semua kesempatan
yang tepat untuk mendidik, maupun membimbing orang lain salah satunya
dengan berbagi ilmu di depan umum (dibaca: pembicara).
Bukan
jamannya lagi, seorang muslimah tidak berani tampil di depan umum karena
alasan tidak PD atau takut salah. Karena setiap sisi kehidupan banyak
menuntut peran wanita untuk bisa tampil di depan umum; berbagi ilmu
pengetahuan, menyuarakan ide pemikiran dan mengubah apa yang mesti
diubah dari sekitarnya. So, kita pasti bisa!. Muslimah Tampil di Depan
Umum, Why Not?
Posting Komentar