"Tidak ada yang sempurna di dunia.. Jika begitu adanya, mengapa masih mengharap berlebih dari apa yang sudah diberi oleh-Nya? Sekalipun masalah yang menyapa, ia bukan masalah yang tak ada jalan keluarnya. Karena pada-Nya saja, kita mengharap dan meminta.."

Postingan Populer

Pengikut

Masih baru bukan berarti tidak bisa menjadi seorang yang disebut guru. Hanya butuh pembiasaan diri saja untuk bisa merangkul hati anak usia sekolah dasar itu. Dengan pendekatan yang berawal dari hati, tentulah akan sampai ke hati pula. Seperti inilah yang aku coba lakukan terhadap muridku di sekolah alam. Murid-murid yang penuh dengan daya kritis serta perkembangan operasional konkret ini awalnya cukup menggelisahkan bagiku. Mengapa? Itu karena setiap aku menyampaikan materi, mereka butuh bukti nyata atau konkret yang bisa mereka percayai sehingga setiap materi dariku tak ditelannya mentah-mentah.
Aku cukup bangga dengan pemikiran anak usia kelas IV SD yang sudah sedemikian kritisnya dalam menerima asupan materi. Pernah suatu saat salah seorang diantara muridku berkata, “Miss, mengapa warna kulit wajah dengan warna kulit (maaf) pantat berbeda? Kok lebih hitam kulit pantat ya padahal kan selalu ditutupi dan gak kepanasan???” Sejurus itulah aku mencoba mengalihkan pertanyaannya ke arah lain sambil aku mencoba mencari jawaban dari pertanyaannya tersebut. Namun sampai saat ini ternyata aku belum menemukan jawabnya. Barangkali ada yang bisa bantu menjawab?
Aku memulai pengajaranku di setiap harinya dengan menanamkan rasa kecintaan terhadap murid-muridku. Meski aku tahu, ada beberapa murid yang memang sulit untuk bisa dirangkul. Tapi tetap saja, bagaimanapun juga mereka adalah anak-anakku di sekolah yang harus kucurahkan rasa perhatian dan kasih sayang secara merata pada mereka. Pernahkah mungkin kita sebagai guru ketika tidak di kelas atau saat jalan-jalan untuk acara pribadi kemudian tiba-tiba rindu kepada murid? Jika pernah, berarti benih cinta kepada murid telah merasuk ke dalam jalur darah kita. Sama halnya dengan yang aku alami, bahkan ketika seusai mengajar, di perjalanan menuju kampusku selalu terbayang-bayang sikap murid-muridku yang unik ketika di sekolah.
Terlebih, ketika ada salah seorang murid perempuan yang pernah berkata padaku, “Miss kok namanya seperti nama bunda saya sih? Miss mau gak kalau jadi bunda saya di sekolah?” sambil tersipu malu. Seketika kujawab, “Mau nak, miss senang jadi bundamu di sekolah” sambil menyunggingkan senyum. Ohh betapa bahagianya saat itu, pertanda kalau kehadiranku disana cukup berarti bagi mereka. Alhamdulillah.
Tak pernah rugi berkecimpung di ‘dunia’ ini. Dunia anak dengan sejuta pesona di dalamnya. Satu per satu kucoba pahami karakteristik murid-muridku. Dan aku bisa mengambil kesimpulan, bahwa cukup mengajarkan mereka dengan cinta maka mereka akan bisa mencintai kita pula.
Banyak guru yang mengajar hanya sekadarnya tanpa cinta, tanpa hati, dan tanpa peduli. Yang terpenting masuk kelas, jam selesai, keluar kelas, dan selalu satu semester mengeluarkan nilai karena tuntutan sekolah.
Cobalah mengajar dengan rasa cinta, meski susah mencobanya, niscaya kita akan tenang, damai, dan nikmat. Karena guru yang akan memunculkan benih cinta, menyiapkan menu pembelajaran dengan baik agar dapat dinikmati murid dengan baik pula.
Anak usia sekolah dasar adalah anak bukan orang dewasa dalam bentuk kecil. Mencoba menghargai anak sebagaimana mereka adalah sosok anak. Membawa duniaku bergabung dalam dunia mereka. Tiap ucapan anak adalah emas jadi perlu direspon dengan emas pula. Itulah yang membuatku harus terus belajar dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka meski konyol sekalipun.
Bahagianya mendekap ‘dunia’ ini, dunia pendidikan yang penuh pembelajaran dalam menyikapinya. Bahkan hal sepele pun perlu dipelajari lebih mendalam. Seperti belajar untuk senantiasa tersenyum pada murid. Jika kita tersenyum dengan murid, dia akan memberikan cinta 100 kalinya sebagai pembalasan senyum itu. Kemudian, senyum guru akan disimpan dalam memori anak yang paling dalam. Memori itu pada akhirnya dapat melejitkan potensi diri anak itu sendiri. Senyum adalah multivitamin yang mampu menggairahkan kejiwaan anak.
Mengajarkan dengan cinta. Dan cinta bukan paksaan. Ia lahir dari perasaan, kehadirannya tidak diundang, perginya tiada yang merelakan. Persahabatan biasanya berakhir dengan percintaan tetapi percintaan tidak pernah berakhir dengan persahabatan. Bersahabat dengan murid secara tulus maka sepanjang hidupnya, murid akan selalu tulus kepada sahabat gurunya. Hal itu pula yang tengah aku pelajari saat ini, menjadi sahabat baik bagi mereka.
Pernah suatu ketika. Aku lagi sedikit bersedih. Salah satu muridku bertengkar hebat dengan murid kelas lainnya persis sesaat sebelum pelajaran dimulai. Dan seketika muridku sulit diajak berkompromi untuk memulai pembelajaran. Aku sedikit menangkap bahwa sebelumnya dia punya niat untuk belajar, tapi kini perasaan itu sudah hilang. Aku pun tidak mau memaksanya. Akhirnya menyempatkan waktu untuk mendengarkan curahan hatinya sambil ia menggambar wajah yang sedang murung.
Muridku lalu bertanya, “Miss, memangnya gak menyesal ya, sudah susah-susah belajar dari TK, SD, SMP, SMA, dan juga kuliah sampai saat ini. Ehh tau-taunya cuma jadi guru aja?” Aku coba menjawab seadanya, “Tidak sayang. Miss malah senang menjadi guru karena dengan menjadi guru, miss bisa menjadi sahabatmu dan mendengarkan curhatanmu.”
Memang aku sedikit ragu dengan pertanyaan muridku tersebut. Jujur saja, sejak lulus SMA, aku sama sekali belum berminat berkecimpung di ‘dunia’ ini, dunia yang sebenarnya penuh dengan pembelajaran di dalamnya. Dunia pendidikan yang bisa melahirkan generasi-generasi platinum masa depan sampai pada akhirnya yakin bahwa aku memang mampu berada di ‘dunia’ ini. Di Indonesia, orang pintar biasanya diharapkan menjadi dokter, engineer, akuntan dan sebagainya. Padahal justru ada profesi-profesi lain termasuk guru, petani, nelayan, dan sebagainya yang membutuhkan orang-orang pintar di dalamnya.
Jadi teringat dengan guru SD-ku yang pernah bertanya ketika hampir lulus sekolah dasar. Sebuah pertanyaan yang sangat mungkin tidak bisa jawab pada saat berusia 12 tahun. Pada saat itu guruku tersebut mengatakan, “Kamu harus menjadi doktor!”. Ungkapan yang pada saat itu aku belum tahu benar apa artinya.
Kemudian dalam kesempatan berbeda, ketika ada seminar di kampusku, ada sebuah pertanyaan yang pernah kudengar, “Apa bedanya antara guru SD dan dosen?” Kalau seseorang yang sukses, yang dihubungkan pertama kali adalah dosennya, dan jarang sekali guru SD-nya. Padahal kita tahu, dari guru SD-lah kita belajar pertama kali: membaca, menulis, dan berhitung. Maka dari itu, aku semakin bahagia mendekap ‘dunia’ ini, dan semoga tak lepas dekapan ini. Insya Allah.