"Tidak ada yang sempurna di dunia.. Jika begitu adanya, mengapa masih mengharap berlebih dari apa yang sudah diberi oleh-Nya? Sekalipun masalah yang menyapa, ia bukan masalah yang tak ada jalan keluarnya. Karena pada-Nya saja, kita mengharap dan meminta.."

Postingan Populer

Pengikut

Kesetaraan Gender Berkaitan Dengan Akses Perempuan Terhadap Sumber Daya Alam

Terkait dengan akses perempuan terhadap sumber daya alam yang terbatas, ternyata telah menyebabkan terganggunya aktivitas pemenuhan kebutuhan sehari-hari, termasuk air sebagai kebutuhan utama untuk hidup. Isu akses terhadap air telah menjadi persoalan sehari-hari yang dihadapi banyak perempuan di berbagai negara. Isu ini juga semakin penting bagi perempuan seiring dengan berbagai peristiwa alam akibat perubahan iklim (climate change). Oleh karena itu para feminis menggagas pentingnya melihat persoalan akses dan pengelolaan air (water management) tersebut dengan perspektif gender. Yaitu perspektif yang melihat adanya kebutuhan terhadap air yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Bila ditelaah, perempuan memerlukan kebutuhan air bersih yang lebih besar daripada laki-laki, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan reproduksinya tapi juga untuk anggota keluarga lainnya, termasuk anak-anaknya. Bahkan Foskey menyebut isu akses perempuan terhadap air sebagai persoalan hidup dan mati. Namun persoalannya kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi jika perempuan tidak memiliki akses pada pembuatan kebijakan tentang air. Hal ini dikarenakan, menurut Whited, laki-laki tetap menjadi pembuat keputusan utama di dalam komunitas, termasuk dalam hal pengelolaan air. Oleh karena itu, beberapa negara di Afrika seperti Uganda dan Malawi berupaya untuk melibatkan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan terkait dengan isu ini. Pengalaman pengelolaan air yang melibatkan perempuan di Uganda misalnya, ternyata mampu meningkatkan outcomes bagi perempuan. Begitu juga pengalaman di Malawi, ketika perempuan terpilih sebagai anggota komite pengelolaan air (water management committee) ternyata dapat meningkatkan jumlah rumah tangga yang mendapatkan akses air. Kedua contoh tersebut menunjukkan bahwa perempuan memang memiliki peran penting dalam menghasilkan kebijakan pengelolaan air yang tidak terbatas gender.

Kesetaraan Gender Dalam Perpolitikan dan Sosial

Perempuan sebagai bagian dari masyarakat dunia memang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari persoalan ekonomi politik internasional dan keamanan global. Berbagai fakta empiris menunjukkan bahwa sistem ekonomi dan politik internasional telah menyebabkan subordinasi peran dan posisi perempuan. Sebagai respons terhadap berbagai hal tersebut, perempuan di berbagai negara telah mengorganisasikan diri dalam bentuk gerakan perempuan lintas negara atau transnasional dalam mengusung berbagai isu tersebut. Menurut Antrobus yang perlu menjadi perhatian adalah berbagai gerakan perempuan yang sifatnya global tersebut memiliki karakteristik yang kompleks. Mereka belum memiliki tujuan yang jelas dan sama dalam mengusung prioritas agenda. Menurutnya hal ini dikarenakan perempuan di berbagai negara memiliki pengalaman yang beragam dan perjuangan perempuan merupakan persinggungan antara ras, kelas, gender dan kebutuhan untuk membedakan antara hubungan material dan ideologi dalam gender. Namun pada intinya mereka memiliki kesadaran yang sama akan pentingnya kesetaraan gender sebagai bagian dari transformasi sosial dalam masyarakat.

Dan pada akhirnya kompleksitas gerakan perempuan berimplikasi pada persoalan signifikansi berbagai gerakan sosial tersebut. Tidak semua gerakan sosial yang memperjuangkan kesetaraan gender memiliki implikasi dan kontribusi signifikan terhadap pemberdayaan perempuan baik di tingkat lokal maupun transnasional. Penyebabnya antara lain advokasi gender lintas budaya menghadapi berbagai tantangan yang tidak mudah khususnya di negara-negara yang memiliki kultur partiarki kuat. Selain itu, karena bervariasinya tingkat kapasitas para anggota dalam organisasi perempuan tersebut juga menjadi faktor penentu. Karakteristik menarik lainnya yang terjadi dari gerakan perempuan saat ini adalah munculnya kelompok laki-laki yang membentuk gerakan sosial pendukung kesetaraan gender dan keterlibatan laki-laki sebagai anggota dari berbagai organisasi perempuan atau gerakan sosial yang peduli terhadap perempuan. Kita ambil contoh, Gerakan the White Ribbon Campaign di Canada adalah gerakan laki-laki yang bertujuan untuk memobilisasi opini publik dan mendidik laki-laki untuk mencegah tindakan kekerasan terhadap perempuan. Gerakan lain dengan misi serupa yang hadir adalah Men against Sexual Assault di Australia dan Men Overcoming Violence di Amerika Serikat. Menurut Connell terdapat beberapa alasan yang menyebabkan munculnya berbagai gerakan laki-laki mendukung perubahan gender dan kesetaraan gender. Pertama, karena kualitas hidup laki-laki tergantung dengan kualitas relasi sosialnya dengan perempuan yang berperan sebagai istri, ibu dan anak perempuan. Terkait dengan peran sosialnya sebagai seorang ayah misalnya, laki-laki mendukung kesetaraan gender karena ingin memastikan bahwa anak perempuannya hidup di dunia yang menawarkan keamanan, kebebasan dan kesempatan untuk mengembangkan minatnya. Kedua, laki-laki ingin mencegah efek negatif dari gender order bagi mereka. Misalnya, gender order yang menghendaki laki-laki untuk bersaing di dunia kerja untuk meningkatkan penghasilannya merupakan persoalan bagi laki-laki yang ingin menyeimbangkan aktivitas kerja dan kehidupan pribadinya. Alasan ketiga mengapa laki-laki mendukung kesetaraan gender yakni karena mereka melihat relevansi isu tersebut untuk memperbaiki komunitas dimana mereka tinggal. Misalnya, situasi kemiskinan di masyarakat dapat teratasi jika perempuan juga diberi kesempatan untuk bekerja guna menambah penghasilan keluarga. Terakhir, bagi laki-laki isu kesetaraan gender selaras dengan prinsip politik dan etika mereka, misalnya terkait dengan isu kesetaraan hak asasi manusia.

Keterlibatan perempuan dalam berbagai aktivitas politik dan pemerintahan di legislatif (parlemen) dan eksekutif sebagai bentuk advokasi gender, misalnya, ternyata tidak selalu menjamin akan prioritas terhadap isu-isu kesetaraan gender. Peran perempuan dalam perumusan kebijakan luar negeri, misalnya sebagai Menteri Luar Negeri, tidak selalu bisa mengusung dan merepresentasikan kepentingan perempuan. Perempuan yang menjadi bagian dari decision-makers tidak jarang pula larut dan terjebak dalam maskulinitas kultur di lingkungan pekerjaan.

Dan berkembangnya isu gender dalam praktek-praktek ekonomi politik internasional dan keamanan global berhasil menguak bahwa hubungan internasional, disadari atau tidak disadari, selama ini melibatkan aktivitas gender. Pembahasan terhadap berbagai isu di atas menunjukkan bahwa melihat negara sebagai satu-satunya aktor penting dalam hubungan internasional ternyata tidak lagi cukup untuk melihat kompleksitas perkembangan isu dalam hubungan internasional, khususnya isu-isu gender yang melibatkan antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu pendekatan positivis dalam teori-teori hubungan internasional yang menekankan pada peran negara tidak lagi relevan untuk menganalisis berbagai fakta empiris tersebut. Kondisi ini menyebabkan munculnya teori-teori feminis dalam hubungan internasional yang menawarkan perspektif gender dalam mempelajari dan memahami praktek-praktek hubungan internasional.

Dalam Perspektif Keadilan

Keadilan secara umum didefinisikan sebagai "menempatkan sesuatu secara proporsional" dan "memberikan hak kepada pemiliknya". Definisi disini memperlihatkan, dia selalu berkaitan dengan pemenuhan hak seseorang atas orang lain yang seharusnya dia terima tanpa diminta karena hak itu ada dan menjadi miliknya.

Dalam konteks relasi gender, wujud pemenuhan hak atas perempuan masih merupakan problem kemanusiaan yang serius. Realitas sosial, kebudayaan, ekonomi dan politik masih menempatkan perempuan sebagai entitas yang direndahkan. Persepsi kebudayaan masih melekatkan stereotipe yang merendahkan, mendiskriminasi dan memarjinalkan mereka.

Pentingnya Pendidikan Berwawasan Keadilan Gender

Perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam hampir seluruh aspek kehidupan manusia membawa pengaruh yang tidak kecil terhadap pola relasi gender, terutama kaitannya dengan posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat serta peranannya dalam pembangunan di semua bidang kehidupan, tak terkecuali bidang pendidikan. Perubahan-perubahan tersebut berlangsung secara bertahap di berbagai tingkat.

Di tingkat dunia, komitmen untuk mengubah relasi gender ke arah yang lebih adil dan setara terlihat sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengambil langkah-langkah utama dengan menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam piagamnya tahun 1945 dan selanjutnya pada 1946 membentuk Commission on the Status of Women atau CSW (Komisi Kedudukan Perempuan). Kemudian, CSW sebagai komisi fungsional Economic and Social Council atau ECOSOC berfungsi aktif dalam upaya-upaya peningkatan kedudukan dan peran perempuan selaku mitra sejajar laki-laki sehingga terwujud kesetaraan dan keadilan gender. Salah satu instrumen fundamental yang dihasilkan berupa Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women disingkat CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan) yang disetujui oleh Majelis Umum PBB pada 1979. Indonesia meratifikasi konvensi ini pada tahun 1984 melalui UU No. 7 tahun 1984. Sayangnya, walau telah 17 tahun berlalu, Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaannya, belum lahir juga sehingga implementasinya tidak terlihat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perhatian dunia terhadap upaya kesetaraan gender semakin terlihat dengan dicanangkannya tahun 1975 sebagai Tahun Perempuan Internasional oleh PBB, dan tahun 1976 s/d 1985 sebagai Dasa Warsa PBB untuk perempuan. Selama periode ini upaya-upaya pengumpulan dan analisis berbagai data tentang situasi perempuan menjadi prioritas utama bagi PBB dan seluruh badan-badan khususnya. Sungguhpun demikian, analisis data dan indikator yang dikumpulkan dari seluruh dunia menunjukkan bahwa walaupun telah dicapai sejumlah keberhasilan selama seperempat abad terakhir (1975- 2000), mayoritas perempuan masih tetap tertinggal jauh di belakang laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal pendidikan.

Sebagai respon terhadap situasi perempuan di seluruh dunia yang masih memprihatinkan itu, Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia di Wina tahun 1993 menegaskan perlunya langkah-langkah strategis baru demi memajukan dan melindungi hak-hak perempuan. Deklarasi Wina menekankan dalam pendahuluannya suatu keprihatinan yang mendalam akan perilaku diskriminasi dan tindak kekerasan yangterus-menerus dihadapi kaum perempuan di berbagai belahan dunia.

Deklarasi dan Program Aksi konferensi ini menegaskan tiga point penting sebagai berikut. Pertama, penegasan Hak Asasi Perempuan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia secara integral (Women`s Rights are Human Rights). Kedua, penegasan partisipasi penuh dan setara bagi perempuan dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya pada semua tingkat: nasional, regional, dan internasional serta penghapusan segala bentuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin merupakan tujuan utama masyarakat sedunia. Ketiga, penegasan bahwa kekerasan berbasis gender dan segala bentuknya tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia serta harus segera dihapuskan.

Bagi Indonesia tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan isi deklarasi dan program aksi tersebut karena penegasan Hak Asasi Perempuan sebagai tercantum dalam Deklarasi Wina sejalan dengan ideologi Pancasila, khususnya sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Adapun landasan konstitusionalnya adalah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 yang menjamin persamaan kedudukan dan hak bagi semua warga negara: laki-laki dan perempuan, baik di depan hukum dan pemerintahan maupun atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selain itu, hukum perundangundangan nasional mengakui hal tersebut dalam Undang-Undang No. 68 tahun 1958 tentang pengesahan Konvensi Hak Politik Perempuan, Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM.

Pentingnya Perspektif Gender Dalam Pendidikan Nasional

Dalam rangka akselerasi tujuan pembangunan nasional, termasuk di dalamnya pembangunan bidang pendidikan, menuju kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pendidikan yang berwawasan gender menjadi pilihan yang strategis walaupun tentu saja merupakan pilihan yang berat mengingat banyaknya hambatan yang akan dihadapi.

Langkah konkret yang perlu segera diambil adalah merumuskan kebijakan gender dalam pendidikan nasional. Paling tidak tujuan yang akan dicapai melalui kebijakan itu mencakup tiga hal pokok. Pertama, membuka kesempatan pendidikan yang lebih meratapada semua jurusan, jenis, dan tingkat pendidikan dengan mempertimbangkan aspek kesetaraan gender. Kedua, mengeliminasi semua bentuk ketimpangan gender pada jurusan, bidang kejuruan, atau program studi di tingkat pendidikan menengah dan tinggi sehingga terwujud kesetaraan gender dalam berbagai bidang keahlian profesionalisme. Ketiga, memberikan peluang dan kesempatan kepada perempuan untuk berpartisipasi secara optimal pada semua unit dan dalam seluruh tahapan pembangunan pendidikan, mulai dari tahap perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, pelaksanaan program, sampai kepada tahap akhir berupa evaluasi.

Agar tujuan tersebut dapat diwujudkan secara optimal, terlebih dahulu perlu ditingkatkan keseimbangan jumlah guru dan tenaga kependidikan atas dasar gender pada semua bidang dan pada semua tingkatan pendidikan. Selanjutnya, mengembangkan pendekatan proses pembelajaran yang sensitif gender melalui pembinaan dan pelatihan guru-guru, kepala sekolah, dan pengawas pendidikan. Demikian pula perlu ditingkatkan partisipasi perempuan, terutama pada tingkat pengambilan keputusan di semua unit pengelolaan pendidikan nasional.

Berikutnya, diharapkan dari seluruh penulis bahan bacaan dan para penanggungjawab dalam bidang pengembangan kurikulum diberikan orientasi tentang kebijakan pendidikan yang berperspektif kesetaraan dan keadilan gender sehingga diharapkan nanti tidak ada lagi kurikulum dan buku-buku bacaan sekolah yang bias gender. Namun, yang paling penting diprioritaskan adalah memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada perempuan untuk memasuki semua jenis dan jenjang pendidikan melalui pemberian beasiswa atau subsidi, terutama bagi mereka dari keluarga yang kurang mampu, serta memberikan affirmative action kepada perempuan untuk memasuki jurusan atau program-program studi yang selama ini menjadi monopoli laki-laki, tentu kebijakan dimaksud bersifat sementara, yakni hanya untuk suatu jangka waktu tertentu, sehingga terbangun keseimbangan jumlah siswa dan mahasiswa menurut gender dalam semua jenis dan jenjang pendidikan.

Pada kesempatan ini pula, dihimbau kepada masyarakat Indonesia untuk berperan aktif dalam memajukan posisi dan kondisi perempuan Indonesia dalam segala aspek/bidang pembangunan, misalnya melalui aktifitas peningkatan pengetahuan dan penyebarluasan seluruh informasi sebagaimana telah dipaparkan tersebut di atas, baik pada kalangan sendiri, dalam keluarga, serta lingkungan masyarakat luas. Mudah-mudahan apa yang telah disampaikan dapat memberi manfaat yang sebesar-besar bagi diri sendiri, masyarakat bangsa dan Negara.