"Tidak ada yang sempurna di dunia.. Jika begitu adanya, mengapa masih mengharap berlebih dari apa yang sudah diberi oleh-Nya? Sekalipun masalah yang menyapa, ia bukan masalah yang tak ada jalan keluarnya. Karena pada-Nya saja, kita mengharap dan meminta.."

Postingan Populer

Pengikut

Suatu hari, bertanya padaku... "Masih tersimpan rapi proposalnya kah??? Atau sudah menjadi sampah?" Aku pun menjawab, "Masih utuh seperti saat kau memberinya". Pengajuan yang luar biasa, tanpa banyak kata, tanpa banyak dalih, semua terjadi begitu saja. 'Karbitan', itu lah yang selalu kau katakan untuk menyebut dirimu sendiri. "Aku bukan siapa-siapa... Hanya orang biasa yang tak punya apa-apa, aku belum lulus kuliah, dan masih harus membiayai adik-adikku serta anak asuhku berjumlah 3 orang". Prihatin mendengar apa yang kau katakan... Tak mampu berkata apa-apa, kupandangi proposal tersebut, begitu kagum terhadapnya namun rasanya kekagumanku itu tak menguatkanku untuk memproses isi proposal tersebut.

"Maaf, aku tak bisa..." ucapku. Kukatakan alasan sejelas-jelasnya dan setelah melalui rangkaian perizinan beberapa pihak... Nihil, semua tidak ada dukungan. Ahh, tapi aku kagum terhadapnya. Ingin mencoba untuk bisa belajar menerimanya meski dengan cerita masa lalunya yang agak 'hitam'. Tapi, itu khan dulu? Tak pantas memberi label pada orang yang sudah berubah, meski secara 'karbitan'. Betul khan?

Namun kembali pada jawaban awal, lagi-lagi hati tak bisa berpihak padanya... Meski sudah dicoba sekuat tenaga. Akhirnya, meminta maaf padanya... Dengan segala kerendahan hati, meski aku tahu masih menyisakan sesak di dadanya. Mungkin karena alasan yang tak pantas, namun bagaimana lagi? Sepertinya memang inilah takdir yang harus diterima. Bersama, oleh kita...

Hari berganti... komunikasi pun tetap terjalin, sesekali mencoba bertanya padaku sembari dengan guyonan, "Pasti proposalku sudah berada ditumpukkan paling bawah ya sekarang? Hehe..." Kutanggapi dengan serius, betapa aku tahu bahwa ia masih terus berjuang untuk mendapatkan kesempatan tersebut. "Ahh, gak juga kok. Sudah ah gak usah bahas hal ini" timpalku sambil mengalihkan ke hal yang lain.

"Tapi aku mau bahas hal ini. Apa sudah tidak ada harapan untukku??? Mengapa?" tanyanya. Aku terdiam, kelu, lidahku kaku. Bahkan cukup lama diam membisu. "Sudah tidak ada, sebab takdir Alloh berada pada yang lain" aku mengatakan sekenanya. "Baiklah, gak apa-apa kok... Setidaknya aku sudah berani mengajukan, meski berujung pada penolakan. Ohya, satu lagi. Setidaknya aku sudah berani menyatakan ketimbang ikhwan lain yang hanya mampu bermain-main dibelakang". Aku terkejut, mengapa harus berbicara seperti itu? Aihh... lagi-lagi, sepertinya aku dibuat diam membisu olehnya. Hanya aku tanggapi dengan seulas senyum. Seadanya.



Sampai kini, entah apakah masih menyisakan rasa yang mengendap dihatinya untukku? Ahh, aku yakin tak sebodoh itulah pastinya... Apalagi setelah semuanya mengalir begitu saja. Diam-diam sudah mendapat pengganti yang lain  setelah 3 bulan pengajuan itu. Tersedak aku, ketika meminum segelas teh hangat dipagi hari. Bahwa akan segera melangsungkan pernikahan dengan seseorang yang tak kukenal. Hm, memang apa pentingnya juga aku mengenalnya? Toh, rasa itu kian lama terkikis dalam hati ini. Mencoba menerima kenyataan, bahwa kaulah akhirnya yang menepati perjanjian tersebut... Ya, perjanjian diantara kita untuk membuktikan siapa yang bisa 'mendahului'. Aku tersenyum, kututup dengan sebuah doa, semoga kau berbahagia. Setelah 5 bulan yang lalu kisahmu berakhir di pelaminan.

*mengenang 281209