"Tidak ada yang sempurna di dunia.. Jika begitu adanya, mengapa masih mengharap berlebih dari apa yang sudah diberi oleh-Nya? Sekalipun masalah yang menyapa, ia bukan masalah yang tak ada jalan keluarnya. Karena pada-Nya saja, kita mengharap dan meminta.."

Postingan Populer

Pengikut

Ini tentang kisah pribadiku… Di masa awal-awal aku belajar memahami Islam yang sesungguhnya. Aku baru mengetahui bahwa kesholehan seseorang, tak dapat diukur hanya dari sepotong label berjudul ikhwan, akhwat, anak ustadz, atau sekedar ngaji tak ngaji. Sebab, keimanan dan kesholehan lebih bermuara pada hati yang bersih, niat yang ikhlas, amal yang banyak manfaat dan perilaku yang mencerminkan akhlaqul karimah. Setuju?!
Ahh ini masa laluku. Jengah sebenarnya bila ingin mengingatnya kembali. Namun aku hanya bisa berharap, semoga ini bisa menjadi sebuah pembelajaran bagi kita semua.
Ya. Hubungan Tanpa Status atau yang akrab disingkat HTS-an ini merupakan sebuah fenomena pergaulan baru sebagai gejala rasionalisasi percintaan ala anak-anak muda zaman sekarang termasuk ketika aku saat itu, yang ternyata bisa menjangkiti suatu kelompok juga yang mengaku sebagai aktivis dakwah. Tentu sudah jelas, ini merusak kesucian hati. Aku “punya rasa" satu sama lain, namun sedapat mungkin aku berupaya untuk tidak melanggar pagar-pagar adab dalam bergaul, yang kadang berhasil, namun kadang pula tidak. Aku akui…
Mmm.. Aku memang tidak pacaran, tapi aku memiliki ‘rasa spesial’ dengan seorang ikhwan yang dulu bagiku sangat berarti. Sosok yang membuatku berubah secara perlahan. Semakin mengerti akan dunia Islam, dan semakin ingin mempelajari Islam jauh lebih dalam lagi. Kita memang tidak pernah berdekatan atau ketemuan dalam sebuah aktivitas-aktivitas berlabel dakwah. Tapi ya memang ada pertemuan-pertemuan tak disengaja, dan itu semua terjadi begitu saja. Aku mencoba menganggap perasaanku itu biasa saja. Dan tak berniatan untuk melakukan aktivitas yang bernama ‘pacaran’. Tapi aku sadar, kalau saat itu aku sudah ‘ngetake’ dia dan dia pun begitu juga. Nah lho?! Ya begitulah yang terjadi pada ‘pelaku-pelaku’ HTS yang masih muda dan tengah menerima gempuran syahwat yang menerjang dari segala arah (Termasuk aku saat itu L)
Huff. Semua itu aku lakukan secara ½ sadar. Dikatakan tidak sadar, karena aku menikmati perasaan itu walaupun hanya sebuah perasaan saja yang bermain di antara kita. Dan dikatakan sadar, karena aku menyadari bahwa hati ini telah jauh terkotori oleh perasaan yang seharusnya tidak baik aku rasakan. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa itu sesuatu yang sifatnya manusiawi lho. Rasa suka dan ketertarikan ini tak perlu dibunuh. Sebab perasaan memang tak bisa dibunuh. Namun, perasaan ini cukup dapat kita redam, dan perilakunya tentu dapat dikendalikan dalam bingkai nilai yang benar. Sepakat?!
Fenomena HTS-an di kalangan aktivis dakwah menjadi sebuah pe-er bagi kita semua yang bermanhaj tarbiyah untuk memikirkan kondisi pergaulan masa kini secara komprehensif baik dari sisi syariah, psikologis maupun sosial lho. Pelakunya memang individu, ya seperti aku ini tetapi jika perilaku ini tetap dilestarikan, tentu akan mempengaruhi manhaj kita ini.
Kini aku baru menyadari, bahwa yang aku lakukan ketika itu adalah sebuah kesalahan. Seharusnya aku tak terlalu bermain hati dengan lawan jenis. Karena tentu jika mengalami perpisahan, akan ada yang tersakiti di antara kedua belah pihak. Kalau tidak aku, ya tentu dia.
Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa “Nikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak menyukai  sunnahku, maka ia bukan golonganku.”
            Rasanya saat itu, aku ingin menghalalkan perasaan antara aku dengannya. Ya, untuk apa lagi ditunda, toh kita sama-sama saling cinta. Tapi aku tersadar, bahwa pernikahan itu bukan sesuatu yang mudah dan sepele begitu saja. Siapakah yang tidak ingin menikah? Semua tentu menjawab ‘mau’. Ya. Aku pun mau menikah, tapi entah kapan dan dengan siapa itulah yang masih berada di dalam catatan Tuhan, yang tiada seorang pun mengetahuinya.
Bagi ikhwan dan akhwat yang memang telah siap ‘melangkah maju’ hendaknya menyadari bahwa setelah ijab-qobul itu, dihadapan kita akan terbentang ombak dan gelombang yang dapat menghempas dan mematahkan kemudi, atau paling tidak ada riak dan getaran yang mampu mengolengkan perahu kita. Pertanyaannya,  apakah kita sudah siap dengan bekal? Tentu, bukan hanya bekal materi dan cinta semata, tetapi bekal yang melebihi keduanya, yaitu ketaqwaan  “…Berbekallah,  dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah bekal taqwa..” (QS. Al Baqarah: 197)
Agaknya tidak ada naluri yang lebih dalam dan kuat dorongannya melebihi naluri dorongan pertemuan dua lawan jenis, pria wanita, jantan betina, positif dan negatif. Itulah ciptaan dan pengaturan Ilahi. “Segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, agar kamu menyadari (kebesaran Alloh)”   (QS. Adz-dzariyyat: 49)
 “Mahasuci Alloh yang menciptakan semua pasangan, baik dari apa yang tumbuh di bumi, dari jenis mereka (manusia) maupun dari  makhluk-makhluk) yang mereka tidak ketahui “ (QS. Yasin:36).
Inilah yang halal jika sudah terbingkai dalam ikatan suci. Bukan yang melalui HTS-an. Jika kita mengakui bahwa keberpasangan merupakan ketetapan Ilahi yang berlaku umum, maka harus diakui juga bahwa ia bukanlah sesuatu yang kotor atau najis, tetapi  bersih, suci lagi terhormat. Jika kita mengakui bahwa aksi dan reaksi, atau pengaruh atau mempengaruhi itu merupakan kodrat segala sesuatu, maka harus diakui juga bahwa tidak ada keistimewaan bagi yang melakukan aksi dari segi fungsinya sebagai pelaku, tidak juga ada kekurangan bagi yang menerimanya.  Walaupun harus diakui bahwa yang melakukan aksi lebih kuat daripada yang menerimanya. Seandainya jarum tidak lebih keras daripada kain, atau pacul yang tidak lebih kuat daripada tanah, maka tidak akan ada jahit menjahit ataupun pertanian. Karena itu, jantan/laki-laki selalu mengesankan kekuatan dan penguasaan, sementara betina/perempuan selalu mengesankan kelembutan dan penerimaan.
Dan pada akhirnya, aku harus bisa bersabar hingga ‘saatnya’ aku akan di pertemukan dengan pilihan yang terbaik. Perpisahan memang menyakitkan, tapi perpisahan itulah yang akan membuktikan sejauh mana perasaan cinta kita yang sebenar-benarnya. Bila kita saling mencintai karena Allah, tentu kita akan saling menjaga diri kita masing-masing. Dan belajar keikhlasan bahwa apapun yang terjadi, memang menjadi ketentuan Ilahi. Biidznillah, bersabarlah dengan sabar yang terbaik. Karena yang 'indah' itu akan segera menyapa.

Belajarlah dari kesalahan, agar selalu ada pembenahan..
Tak salah langkah, dalam mengikuti petunjuk arah..
Janganlah salah jalan, apalagi salah tujuan..
Demi Allah.. kehalalan itu kan tiba sebagai balasan..
Bagi kita yang menjaga kehormatan..