Saya yakin siapapun tak terkecuali, tentu ingin merasakan yang
namanya sebuah pernikahan. Namun, tak mudah untuk menuju pintu gerbang
pernikahan yang katanya hanya ingin sekali seumur hidup.
Beragam
cara ditempuh oleh sebagian orang untuk bisa segera menikah. Ia berusaha
sendiri mencari kenalan dari media sosial atau minta tolong melalui
temannya untuk dicarikan pasangan. Apakah itu salah? Tidak! Namun,
bagaimanapun prosesnya, prosedur taaruf (dibaca: perkenalan) harus tetap
berlaku.
Namanya orang sedang berikhtiar mencari pasangan jiwa,
yang utama muncul adalah kecondongan emosi jiwanya. Karena bisa jadi
orang yang ingin segera menikah bukan karena ia sudah siap melainkan ada
sebuah emosi yang timbul akibat tekanan dari luar yang mendesaknya
untuk segera menikah. Misalnya tekanan dari orangtua yang katanya ingin
segera menimang cucu, atau tekanan dari masyarakat yang tidak
menghendaki adanya perawan tua atau bujang lapuk.
Padahal
menikah bukan karena sebuah tekanan. Seharusnya hasrat untuk menikah
karena ingin menyempurnakan separuh agama dan sebagai bentuk penjagaan
diri. Oleh karena itu yang perlu diperhatikan pertama kali dalam mencari
pasangan adalah membersihkan niat karena Allah. Luruskan niat bahwa
menikah adalah sebagai ibadah semata untuk mencari ridha-Nya. Tidak
mudah menerima “calon pasangan” kita apa adanya, apabila yang kita cari
ternyata tidak sesuai dengan “kriteria” yang diharapkan. Di sinilah
ujian pertama keikhlasan kita untuk bisa menerima ketidaksempurnaan dari
calon pasangan.
Selanjutnya adalah menjaga kesucian proses
perkenalan atau ta’aruf sesuai dengan rambu-rambu syariat seperti tidak
boleh berkhalwat, harus menjaga pandangan, menjaga aurat dll. Seseorang
yang berada dalam proses ta’aruf juga harus memiliki kejujuran. Kedua
belah pihak diperbolehkan menanyakan apa saja yang dibutuhkan untuk
mengarungi rumah tangga nantinya contohnya mengenai keadaan keluarga
masing-masing, prinsip dan visi misi hidup, sesuatu yang disukai dan
tidak disukai dll. Selain itu prosedur ta’aruf lainnya adalah kedua
belah pihak harus serius dan sopan dalam berbicara serta menghindari
membicarakan hal-hal yang tidak perlu.
Jika sudah ada keputusan
atau hasil akhirnya; menerima atau menolak mesti disampaikan dengan cara
yang baik. Bila selama ta’aruf ditemukan kecocokan maka akan
dilanjutkan ke jenjang selanjutnya, namun jika selama ta’aruf tidak
ditemukan kecocokan maka si calon bisa menyudahi ta’aruf dengan cara
yang baik dan menyatakan alasan yang masuk akal. Jangan sampai membuat
calon menunggu lama, karena akan dikhawatirkan calon akan sangat kecewa
karena telah berharap lebih.
Ta’aruf yang baik dan sesuai syariat
sebenarnya adalah proses perkenalan yang dilakukan dengan perantara.
Mengapa? Karena jika tanpa adanya perantara dikhawatirkan rentan dari
kebersihan hati. Bila ta’aruf dilakukan hanya berdua saja maka semua hal
bisa saja terjadi. Kata-kata yang tidak sepatutnya dikeluarkan atau
diumbar akan begitu mudah terlontarkan.
Perantara bisa melalui
orang terdekat kita. Bisa dari orangtua, keluarga atau saudara dan bisa
juga dengan bantuan teman kita. Dengan adanya perantara maka akan
membantu mempertegas proses ta’aruf. Seorang perantara akan membantu
memberikan batas waktu kepada pasangan ta’aruf, kapan deadline
ta’aruf, kapan ta’aruf selanjutnya dilakukan, kapan pertemuan dengan
orang tua, kapan acara lamaran dll. Semuanya tentu akan lebih menjadi
jelas dan tidak berlama-lama ketimbang ta’aruf hanya dilakukan berdua
saja.
Selain itu, sebaiknya yang menjadi perantara adalah orang
yang telah menikah karena tentunya ia sudah mengetahui proses menuju
pernikahan dan untuk menghindari fitnah yang terjadi dengan salah satu
calon ta’aruf.
Suatu hari saya pernah mendapat pertanyaan dari
teman saya. “Apakah dengan sekali ta’aruf langsung nikah bisa menjamin
keluarga menjadi SAMARA?” Lalu, kalau saya balik bertanya bahwa “Apakah
dengan pacaran bertahun-tahun akan terjamin pernikahannya nanti langgeng
dan awet?”. Maka tentu jawabannya “Tidak ada yang bisa menjamin apa-apa
kecuali jika Allah yang menghendaki dan tergantung dengan usaha suami
istri tersebut dalam memperjuangkan sebuah hubungan agar menjadi
keluarga yang SAMARA”. Mengapa sih, kita harus menjerumuskan diri ke
dalam tindakan sia-sia yang disebut dengan pacaran jika tindakan
tersebut juga tidak menjamin apa-apa malah hanya akan menambah dosa
untuk kita?
Jaga hati.. jaga diri..
Godaan setan selalu menyelinap di sini.
Kencangkan kembali..
Sabuk iman kita sejak dini.
Agar penyesalan tiada nanti.
Saya
rasa, di luar sana banyak pasangan yang hanya ta’arufan lalu beberapa
kali bertemu dan akhirnya memiliki keluarga SAMARA. Kalau sosal cocok
tidak cocoknya antara pasutri yang harus dipersiapkan adalah hati. Butuh
keyakinan kuat dengan proses yang dijalani untuk memegang komitmen
bahwa inilah pilihan saya, dan saya harus siap dengan segala resikonya.
Tentu semua itu dibarengi dengan doa yang dipanjatkan untuk diberi
kelanggengan dalam rumah tangga. Namanya menikah tidak melulu harus
sempurna, saling belajar dan mencoba mencari kesamaan dan jalan keluar
yang terbaik jika ada pertengkaran. Kuncinya adalah ikhlas dalam
menjalaninya tanpa paksaan, ikhlas dengan pilihan dan ikhlas menerima
segala kelebihan dan kekurangan pasangan.
Semoga Allah memudahkan
ikhtiar bagi yang ingin segera menikah.. Tempuhlah dengan cara yang
benar dan sesuai syariat agar jalannya mudah dan peroleh berkah.
Pernikahan..
bukanlah akhir dari sebuah cinta. Justru pernikahan adalah awal dari
sebuah cinta. Karena dengan pernikahan, cinta yang sesungguhnya akan
dibuktikan dan diperjuangkan oleh pasangan suami istri tersebut.
Posting Komentar