Ih wow.. sobat tau nggak... Kesholehan seseorang, tak dapat diukur hanya dari sepotong label berjudul ikhwan, akhwat, anak ustadz, atau sekedar ngaji tak ngaji. Sebab, keimanan dan kesholehan lebih bermuara pada hati yang bersih, niat yang ikhlas, amal yang banyak manfaat dan perilaku yang mencerminkan akhlaqul karimah. Setuju?!
Kali ini aku tergelitik dengan sebuah pembahasan baru nih.. Rasanya perlu diulas pembahasan ini. Apa ya?? Hehe.. penasaran khan?!
Yap.. aku lagi ingin mengulas tentang Hubungan Tanpa Status (HTS) yang merupakan sebuah fenomena pergaulan baru sebagai gejala rasionalisasi percintaan ala anak-anak muda zaman sekarang yang ternyata bisa menjangkiti suatu kelompok juga yang mengaku sebagai aktivis dakwah. Tentu sudah jelas, ini merusak kesucian hati. Mereka “punya rasa" satu sama lain, namun sedapat mungkin berupaya tidak melanggar pagar-pagar adab dalam bergaul, yang kadang berhasil, namun kadang pula tidak.
Mmm.. Mengaku tidak pacaran, tetapi kerap berdekatan. Secara fisik, juga emosi, Dalam rapat organisasi, dalam kegiatan sekolah atau kuliah, hingga aktivitas-aktivitas berlabel dakwah itu sendiri. Proses jalannya? Ya macam-macam. Pertemuan-pertemuan ‘tak’ disengaja, keperluan-keperluan yang terencana dengan memilih tempat-tempat umum dan terbuka bila ada perlu ‘berduaan’, atau saling telepon, sms, email hingga chatting yang bersambungan untuk bermacam urusan mulai dari yang penting hingga mengarah pada curhat soal pribadi. Itulah rasionalisasi. Oleh karena itu, meski tanpa ikrar maupun janji yang pasti, bisa dikatakan setiap orang tahu, siapa ‘punya’ siapa, atau siapa ‘ngetake’ siapa. Nah lho?! Ya begitulah yang terjadi pada ‘pelaku-pelaku’ HTS yang masih muda dan tengah menerima gempuran syahwat yang menerjang dari segala arah (Aku termasuk gak yah?!)
Memang sih. Bicara soal suka-sukaan ini menjadi fenomena besar, jangankan yang sudah dewasa, yang baru lulus SD masuk SMP sudah banyak yang saling memadu kasih. Karena lingkungan sosial di luar ’mengajarkan’ begitu. Anak jadi terlalu cepat dewasa dan banyak yang mulai kehilangan rasa malu. Kalau itu terjadi pada anak yang baru SMA, tingkat 1, tingkat 2, itu hal yang logis dan wajar secara umum, meski bukan hal yang benar. Tapi untuk yang sudah lebih dari itu, mestinya lebih bisa mengendalikan diri dan mengontrol emosi serta perasaannya.
Huff. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa itu sesuatu yang sifatnya manusiawi lho. Rasa suka dan ketertarikan ini tak perlu dibunuh. Sebab perasaan memang tak bisa dibunuh. Namun, perasaan ini cukup dapat qt redam, dan perilakunya tentu dapat dikendalikan dalam bingkai nilai yang benar. Sepakat?!
Meskipun setiap manusia memiliki kesamaan kecenderungan nafsu, namun implementasinya tergantung sekali pada lingkungan. Sebab lingkunganlah yang akan membentuk manusia akan jadi seperti apa dalam menjalani kehidupannya. Dan ternyata, HTS-an antara seorang ikhwan dan akhwat biasanya sudah diketahui oleh ikhwah lainnya. Namun, entah merasa ini urusan pribadi seseorang, atau merasa sungkan untuk menegur, perilaku HTS ‘seolah’ mendapat tempat di kalangan aktivis muda. Rasa sungkan ini bisa berakibat fatal lho bagi kebersihan dakwah itu sendiri. Keberanian untuk saling menasehati adalah sumbangsih besar buat kelangsungan dan keberhasilan dakwah. Betul gak?!
Fenomena HTS di kalangan aktivis dakwah sebagai sebuah pe-er bagi qt semua yang bermanhaj tarbiyah untuk memikirkan kondisi pergaulan masa kini secara komprehensif baik dari sisi syariah, psikologis maupun sosial lho. Pelakunya memang individu, tetapi perilaku mereka tentu akan mempengaruhi manhaj qt ini.
Bila qt melihat fenomena ini, jangan sungkan ya untuk saling mengingatkan dan menasihati.. Tega kah qt tatkala melihat sobat qt lainnya terjatuh dalam lubang kenistaan? Tentu hal itu tidak qt inginkan.
Tak bisakah qt bersabar, hingga ‘saatnya’ qt akan di pertemukan dengan pilihan yang terbaik?! Biidznillah, bersabarlah dengan sabar yang terbaik ya.
Allohu’alam..
Posting Komentar