Cinta…
5 huruf dengan berbagai pemaknaannya. Tak jarang bahkan bingung dibuatnya. Siapapun bisa saja salah menafsirkan, dan siapapun bisa terjerat oleh 5 huruf tersebut. Ahh, bagiku… cinta tetaplah cinta. Ia merupakan kata kerja yang harus terus diupayakan, terus dan terus dipupuk agar bersemi di atas jalur yang benar.
Saat masih berstatus single, aku merasa cinta adalah segalanya. Cinta yang seperti apa dulu nih? Ialah cinta yang hakikatnya dimiliki oleh setiap jiwa, melahirkan sebuah perhatian, kasih sayang, kepekaan perasaan dan lain sebagainya. Tak hanya pada lawan jenis melainkan pada yang sejenis pula, pada orang tua, keluarga, teman, kerabat, handai taulan dan yang lainnya.
Setelah menikah… statusku berubah. Tak lagi single dong? Yaiyalah… maka aku mencoba untuk menafsirkan kembali makna cinta. Yang ternyata berbeda pemahamannya saat aku masih single dengan sekarang menjadi double. Setelah melalui perenungan begitu dalam, di usia pernikahanku yang menginjak 17 hari, ternyata aku perlu banyak belajar lagi mengenai hakikat cinta yang sesungguhnya. Kalau dulu aku memahami cinta dalam bentuk luas berupa kasih sayang, perhatian pada keluarga, teman, saudara… Maka kini aku harus memfokuskan cinta pada seseorang yang telah menjadi belahan jiwa. Ialah suamiku tercinta.
Memahaminya haruslah dengan penuh perasaan… Seseorang yang berlatar belakang berbeda, mampu membuatku menangis tiap malam. Bukan karena aku disakiti olehnya dan merasa menyesal menikah dengannya, melainkan ternyata aku perlu banyak lagi mengeluarkan energi pengertian untuk bisa mengerti maksudnya, gaya bicaranya, sikapnya bahkan hanya sebuah kerlingan mata. Itu semua perlu aku terjemahkan dengan sangat hati-hati, hingga aku tak salah tafsir dan membuatku tak bersyukur telah memiliki suami sepertinya.
Aku yakin, suamiku bukanlah makhluk yang sempurna, bahkan memiliki banyak kekurangan dimana-mana, namun setelah kutelaah lebih jauh, nyatanya kekurangan suamiku tersebut dapat kututupi dengan kelebihan yang ada pada diriku. Contoh sederhananya, suamiku agak sulit dalam membuat jadwal kegiatannya… Sedangkan aku tipikal orang yang penuh perencanaan serta terjadwal, maka peranku dibutuhkan saat suamiku bingung membagi waktu. Tak masalah, bukankah itu tugas istri? Ya, saling melengkapi…
Atau ketika ada hal-hal sepele yang membuat nada suaranya meninggi… Mungkin saat itu aku terkejut, kupikir ia sedang marah namun aku kembali memaklumi bahwa latar belakang mempengaruhi gaya bicaranya yang sebenarnya dia tidak sedang marah. Akhirnya pun aku terbiasa, ketika nada suaranya sedang meninggi, aku ayunkan jari telunjukku dengan lembut ke bibirnya mengisyaratkan bahwa jangan tinggi-tinggi nada suaranya, dan dia pun terbiasa akhirnya untuk merendahkan kembali nada suaranya. Mudah kan?
Banyak hal yang harus aku pelajari lebih banyak darinya, dari seorang anak manusia yang sebelumnya belum pernah aku kenal. Bayangkan saja, kami ditaarufkan selama sepekan, kemudian sepekan kemudiannya aku dilamar dan dua pekan kemudiannya langsung akad dan resepsi. Itu semua seperti sebuah mimpi. Ya, mimpi untuk menyegerakan pernikahan di tahun ini ternyata Alloh perkenankan. Namun, bukan hanya sampai situ ceritanya. Ada banyak PR yakni aku harus pacaran terlebih dahulu setelah menikah, untuk mengetahui siapa sesungguhnya laki-laki yang kini selalu menemaniku, mengantarkanku pergi, mengajakku dalam setiap kegiatannya dan sebagainya. Aku yakin butuh waktu lama untuk bisa menjadi partner baik baginya. Dan itu sedang aku coba selalu…
Setiap malam, tak jarang aku beruraian air mata… Apalagi jika mengingat kriteria calon suami yang kuinginkan dulu. Semuanya ternyata pupus, banyak kriteria yang tak kudapatkan dalam diri suamiku. Tapi tahukah? Aku mendapatkan kriteria suami yang jauh lebih baik dari yang dulu aku harapkan. Ialah suamiku yang selalu bisa mencuri hatiku. Ia selalu bisa menghiburku ketika aku menangis, ia juga yang selalu bersedia menjadi tempat curhatku, dan ia yang selalu sabar dalam menghadapi tingkahku yang masih kekanak-kanakkan… Jika diingat-ingat, ia sama sekali tak pernah marah padaku, ia tak pernah mengeluarkan ekpresi wajah marahnya dihadapanku, bahkan ia yang selalu meminta maaf duluan ketika usai kami melaksanakan shalat berjama’ah.
Ahh… mengapa kita harus mensyukuri yang ada? Ya karena itulah… dengan bersyukur atas apa yang ada, kita semakin merasa bahwa yang ada sekarang adalah yang terbaik buat kita. Mengapa perlu menyesali semua yang tak terpenuhi? Karena menyesali tak mampu membuat kita belajar untuk lebih baik, karena mengeluh akan membuat kita kufur nikmat atas apa yang sudah DIA beri. Dan aku bersyukur… suamiku memang bukanlah siapa-siapa dihadapanmu dan dihadapannya, tapi dihadapanku ia begitu teristimewa. Cukup itu saja :)
sebelum mengambil keputusan pastinya kita sdh memikirkan hal yang sedang dan yang akan berlalu..
sekarang tinggal kembali lagi kepada Sang Khalik mudah2an semua berjalan dengan ridhonya..amin.
Salam PERSAHABATAN dan suksesok
^_^'