"Tidak ada yang sempurna di dunia.. Jika begitu adanya, mengapa masih mengharap berlebih dari apa yang sudah diberi oleh-Nya? Sekalipun masalah yang menyapa, ia bukan masalah yang tak ada jalan keluarnya. Karena pada-Nya saja, kita mengharap dan meminta.."

Postingan Populer

Pengikut

Ada sebuah pembicaraan yang menarik tadi malam… Baru ku urai benang pembicaraan itu malam ini. Ya, pembicaraan yang bermula dari ketidakjelasan, namun ternyata berakhir dengan kejelasan. Pembicaraan yang berawal tentang senda gurau belaka, namun berakhir dengan keseriusan yang bermakna.

Mencermati dari hasil tulisanku di notes FB ini ternyata membuat sesuatu yang berbeda yang dirasakan olehnya. Sesuatu yang katanya ‘hidup’ itu ternyata membuatnya bertanya-tanya kepadaku, mengapa tulisanku bisa ‘nonjok’. Wow, aku merasa tulisanku belum seberapa. Namun, memang adakalanya, hasil tulisanku ini bermaksud me’nonjok’ orang yang seharusnya ditonjok. Hehe…

Berdiskusi dengan orang yang bergelut dalam ke-Rasional-annya memang agak repot. Setiap yang aku sampaikan, maksud dan tujuanku ternyata tak mengena. Dia selalu meminta untuk aku memberikan contoh yang mampu dicerna oleh akal sehatnya. Padahal, aku tak bisa memberi sesuai pesanan. Aku hanya mampu memberi apa yang aku bisa dan aku punya. Bukan karena sesuai kehendak orang yang meminta.

Pembicaraan pun berlanjut, dia selalu saja memanggilku dengan sapaan ‘mbak’, padahal sudah sangat jelas bahwa aku lebih muda darinya. Tapi, sekali lagi karena aku –saat itu- sedang berdiskusi dengan tipe mahasiswa yang getol dengan bacaan buku yang menyentuh rasionalnya, aku disuguhkan dengan dalil, bahwa dia sedang belajar BERANI, dalam artian belajar berani memuliakanku, oleh karena itu, dia menyapaku dengan sapaan ‘mbak’.

Aku tak bisa mengelak dari pernyataannya tersebut. Karena diskusi kita saat itu berkaitan dengan sebuah kata ’BERANI’. Ya, kata itu sangat menarik untuk dibahas, terlebih setelah membaca notesku di FB yang terakhir. Dia sangat tergelitik dengan isi tulisanku disana. Betapa dia belum berani untuk menjadi pelaku utama yang ‘BERANI’.



Kembali pada sebuah kata ‘BERANI’. Dia memintaku untuk mengajarinya menulis, karena baginya tetap saja menulis itu tak mudah. Dia mengatakan bahwa bahan tulisan selalu ada, termasuk yang berada dalam pikiran, namun tetap saja sulit menggerakkan dirinya untuk segera menuangkan isi pikirannya tersebut ditambah lagi dia tipe orang yang moody. Segalanya harus disesuaikan dengan kondisi hatinya dulu.

Dia memang getol banget dalam hal membaca. Dalam sehari bisa menghabiskan berapa banyak buku bacaan… Tapi tetap yang dia keluhkan adalah, sulit menulis. Dia mengatakan bahwa biasanya para penulis itu adalah yang kaya dengan ilmu membacanya. Namun aku tepis anggapan seperti itu, karena aku merupakan salah satu penulis yang tidak termasuk dalam kategori tersebut. Bahkan aku jarang membaca, bahkan buku bacaanku tak memenuhi isi kamarku seperti halnya penulis-penulis hebat lainnya. Namun aku punya motto, ya motto seorang ~DLT ini yakni ‘Penulis adalah pembaca bagi tulisannya sendiri’. Mengapa tulisanku bagus –dan katanya menyentuh hati-? Ya karena aku selalu membaca isi tulisanku sebelum dipublikasikan. Karena aku mencermatinya, apakah tulisanku sudah mampu menyentuh hati para pembaca? Apakah tulisanku sudah ber’Ruh? Karena pada intinya, keinginan dalam setiap tulisanku menggambarkan siapa sebenarnya sosok yang fakir ini, sosok yang bernama Deasy Lyna Tsuraya.

Jadi, hanya sebuah harapan dari setiap tulisanku… Untuk bisa memberikan manfaat bagi yang membacanya. Tidak hanya sebuah tulisan tanpa makna, namun menjadi sebuah surat hati yang ingin ku ungkap pada para pembaca. Ya begitulah… Meski tak semua pembaca mampu mencerna  dari setiap makna dalam sebuah bait-bait kata.

Kembali pada sosok lawan bicaraku semalam. Ya, sosok yang senantiasa mengeluarkan dalil dalam setiap argumennya. Kadang membuatku menyerah dan tak berkutik. Dia mengatakan bahwa ‘Susah kalau kita melakukan sesuatu jika tanpa dibarengi dengan dalil-dalil’. Okelah, aku iyakan saja dengan sebuah sikap diam.

Namun kembali dia mengatakan ‘Saya banyak belajar darimu, mbak’. Aku elak perkataannya tersebut, bahwa aku tak sedang mengajarkan apa-apa padanya. Lalu dia menjawab, ‘Saya belajar diam darimu’. Entah dengan maksud dan makna apa dibalik pernyataannya tersebut, tak mau aku ambil pusing.

‘Barangsiapa beriman pada Alloh dan hari akhir, hendaknya BERKATA BAIK ATAU DIAM’ (HR Bukhori Muslim -dalam hadits Arba’in). Ya, lagi-lagi dalil yang ia keluarkan. Dan saat itu aku benar-benar harus ‘DIAM’.

Ohya. Aku baru tersadar, bahwa dia adalah pimpinanku saat berorganisasi dulu. Hehe, nampaknya dia hafal sekali bahwa aku pernah menjadi anak buahnya, sedangkan aku malah yang  terlupa bahwa dulu dia pernah menjadi pimpinanku. ‘Kalau secara umum saya bisa mengingatnya, tapi kalau lebih detail memang tugas dari saudariku yang harus mengingatkan’. Itulah alibinya yang kembali muncul saat itu. Subhanalloh, sebuah masa lalu yang penuh dengan kenangan, dan ingin kembali mengenang masa-masa itu.

Terakhir…
Entah aku sedang menulis apa saat ini, yang pasti aku sedang mempraktekkan mottoku bahwa ‘Penulis adalah pembaca bagi tulisannya sendiri’. Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku BERANI. Ya, ‘Penulis sejati bisa menjadikan semua hal menjadi bahan tulisannya, termasuk diskusi pendek kita ini. Mari meresume diskusi kita ini dengan tulisan. Berani..??’ Itulah permintaanya saat itu. Aku hanya tersenyum sambil berkata: ‘BERANI!!!’. Dan jadilah sebuah tulisan ringan ini…

Untuk teman diskusiku semalam… “KeBERANIan itu membutuhkan sebuah sikap yang tak hanya lewat sekedar kata, namun harus diresapi pula dengan sebuah makna.” ^_^

One Response so far.

  1. Anonim says:

    Berani. Hal yang remeh, namun penting dalam mengawali sesuatu. Tetapi jangan lupa untuk belajar, mempelajari, mencari informasi, dan mengerti tentang apa yang akan dilakukan. setelah memiliki bekal yang cukup, lalu berbuatlah. jangan cuma menyimpannya.
    itulah berani.
    berani, belajar, berbuat.
    :)