Sikap sombong,
seringkali kita tak menyadarinya. Lihatlah iblis yang dikutuk dan dikeluarkan
dari surga juga lantaran sombong. Dengan sikap kseombongannya tersebut, ia
menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam as manusia pertama karena
merasa dirinya lebih baik. “Allah
berfirman ‘Hai iblis apakah yg menghalangi kamu sujud kepada yg telah
Ku-ciptakan dgn kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu
termasuk orang-orang lbh tinggi?’ Iblis berkata ‘Aku lbh baik daripadanya krn
engkau ciptakan aku dari api sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah’.”
“Ana khoirun minhu ”
kata Iblis. Merasa diri lebih baik dari pada yang lain itulah sombong. Dan
akibat sombong iblis dikutuk.“Allah
berfirman ‘Maka keluarlah kamu dari surga sesungguhnya kamu adalah orang-orang
yg terkutuk sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan.” .
Kita berlindung kapada Allah dari perbuatan sombong baik dalam bentuk sifat
sikap maupun perilaku karena ia dapat menjadi penghalang masuk jannah.
Rasulullah saw bersabda “Tidak
akan masuk jannah seseorang yang terdapat dalam hatinya sifat sombong meskipun
hanya sebesar biji sawi.”
Seorang tokoh yang
memiliki pengikut banyak reputasi yang luas juga berpotensi untuk menyombongkan
diri lantaran ketokohannya dan pengikutnya yang banyak. Seorang yang memiliki
tubuh kuat atletis jawara kadang tergoda memamerkan bentuk tubuhya disamping
tidak jarang gampang terpancing perkelahian dalam urusan kecil sekalipun hanya
lantaran merasa dirinya pendekar. Seorang
rupawan juga kadang tergoda untuk membanggakan kecantikannya dan meremehkan
yang tidak seganteng dan secantik dirinya bahkan sampai menghina bentuk fisik
orang lain. Seorang hartawan sering tergoda membanggakan pakainnya yang bagus
kendaraannya yang mewah rumahnya yang mentereng dengan melihat
sebelah mata pada kaum alit yang kumal kotor kolot dan pinggiran.
Seorang pejabat yang kebetulan pangkatnya lebih tinggi kadang merasa lebih baik
dari bawahannya. Presiden merasa lebih baik dari menteri, jenderal merasa lebih
baik dari kopral, direktur merasa lebih baik dari karyawan dan seterusnya.
Sifat
sombong juga dapat menimpa ahli ibadah. Sosok yg secara dhahir wara’ zuhud
bertahajud tiap hari berpuasa senin-kamis rawatibnya tidak pernah tertinggal.
Karena salatnya rajin sekali hingga jidatnya hitam. Namun ternyata ia tergoda
untuk menganggap dirinya orang yang paling suci paling baik paling takwa. Orang
lain dianggap tidak ada apa-apanya dibanding dia. Rasa sombong juga dapat
menghinggapi ilmuwan. Ilmunya setinggi langit titelnya profesor doktor
hafal Al-Quran dapat
berbicara dalam banyak bahasa. Tetapi ia tidak sabar untuk menahan dirinya merasa
lebih baik dari masyarakatnya. Seorang bangsawan karena merasa berasal dari
keturunan yang mulia aristokrat darah biru kadang merasa tidak sepadan jika
harus bersanding bergaul dengan yang bukan bangsawan. Dapat menurunkan derajat
katanya. Tak peduli yang dinggap sebagai tidak selevel itu sosok berilmu
sekalipun. Tak jarang dalam pergaulan sering juga muncul kalimat yang
konotasinya merendahkan seperti “Hai Irian! Hai Dayak! Hai anak si Anu?!”
Kisah Abu Dzar patut
kiranya menjadi pelajaran. Suatu ketika beliau sedang marah kepada seorang
laki-laki sampai terucap “Hai anak wanita hitam.” Rasulullah mendengar hal itu
kemudian bersabda“Wahai Abu
Dzar tidak ada keutamaan bagi kulit putih atas kulit hitam” .
Mendengar hal itu Abu Dzar sangat menyesal hingga meminta orang tadi untuk
menginjak pipinya. “Dan
janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia dan janganlah kamu berjalan di
muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri.” Perihal sombong Rasulullah
mendefinisikan dalam sebuah riwayat “Kibr
adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” Dua kata
kunci menolak kebenaran dan meremehkan manusia itulah sombong. Ketika ada rasa
ingin menonjolkan dan membanggakan diri ketika hati kita keras menerima nasihat
terlebih dari yang lebih yunior, ketika pendapat kita enggan untuk dibantah
bahkan tidak jarang dipertahankan dengan dalil yg dipaksakan, ketika kita
tersinggung tidak diberi ucapan salam terlebih dahulu, ketika kita berharap
tempat khusus dalam sebuah majlis, ketika kita tersinggung titel dan jabatan
yang dimiliki tidak disebut maka jangan-jangan virus takabbur telah meracuni
diri kita. Imam Ghozali mengajari cara mawas diri agar tidak terjebak dalam
sikap merasa lebih baik.
Ketika
kita melihat seseorang yang belum dewasa kita bisa berkata dalam hati “Anak ini
belum pernah berbuat maksiat sedangkan aku tak terbilang dosa yang telah
kulakukan maka jelas anak ini lebih baik dariku.” Ketika kita melihat orang tua “Orang
ini telah beramal banyak sebelum aku berbuat apa-apa maka sudah semestinya ia
lebih baik dariku.” Ketika kita melihat seorang ‘alim “Orang ini telah
dianugerahi ilmu yang tiada kumiliki ia juga berjasa telah mengajarkan ilmunya.
Mengapa aku masih juga memandang ia bodoh bukankah seharusnya aku bertanya atas
yang perlu kuketahui?” Ketika kita melihat orang bodoh “Orang ini berbuat dosa
karena kebodohannya sedangka aku? Aku melakukannya dengan kesadaran bahwa hal
itu maksiat. Betapa besar tanggung jawabku kelak.”
Lantas, atas dasar apa
kita membanggakan diri ? Bukankah dunia ini bersifat fana? Bukankah kekayaan
pangkat kecantikan keturunan pengikut dan ilmu merupakan anugerah Allah yang
bersifat sementara? tidak permanen? dan dapat dicabut sewaktu-waktu jika Allah
mengendaki? Lagi pula bukankah yang dilihat oleh Allah adalah ketakwaan seorang
hamba? dan bukan kekayaan pangkat fisik keturunan? Maka adalah aneh jika kita
merasa ana khairun
minhu .
Posting Komentar