Siapapun bisa saja merasa memiliki... apapun benda hidup atau mati, terkadang kita lupa bahwa kepemilikan itu sejatinya bukanlah hak kita.
Hari ini, aku baru menyadari... Betapa rasa memilikiku terlalu besar terhadap sang suami. Sejak menikah, aku merasa telah menemukan sebagian tulang rusukku, dan berusaha untuk terus menjaganya agar tetap bersatu dengan tulang rusukku. Pelayananku padanya, mulai dari menyiapkan makanan, menyiapkan pakaian kerja, membantu mengerjakan tugas-tugas pengajarannya hingga hal sepele mungkin seperti menyiapkan sendal ketika ia mau shalat di mesjid, atau menyisir rambutnya ketika ia mau berangkat kerja, kukira itu suatu hal yang teramat wajar. Aku merasa, baktiku padanya harus sempurna meski aku tahu masih banyak ketidaksempurnaanku di hadapannya. Seringkali rasa kecewanya terhadapku terlihat dari wajahnya, seperti misalkan ketika aku sering bercanda menggunakan kata "tau ahh". Sejatinya aku sedang bercanda namun ketika dia mengajakku bercanda lantas aku sambil tersenyum-senyum mengatakan kata tersebut tiba-tiba dia bisa marah dan berujar, "gak suka deh kamu ngomongnya gitu, gak ada apa kata-kata lain?!" padahal saat itu kami sedang bercanda. Dari hal sepele ternyata perkataanku bisa membuatnya kecewa terhadap diriku. Dan aku menyadari bahwa masih banyak hal yang membuatnya kecewa terhadapku.
Ya.. Rasa memiliki itu mungkin terlalu besar. Itu karena, mungkin setelah aku berada dalam pencarian panjang dengan beberapa pria yang mencoba untuk serius denganku namun nihil hasilnya. Malahan, hadirnya suamiku (saat itu) di hadapanku membuat semangatku tumbuh kembali dan semakin yakin untuk berkata; "aku yakin ini adalah tambatan terakhirku". Maka, perjuangan baru segera dimulai. Hidup berumah tangga bersama suami rasanya kayak permen nano-nano, manis, asam, asin rame rasanya. Ada banyak hal yang menjadi kejutan baik yang kupandang positif maupun negatif. Ya, apapun itu tetap kusyukuri karena kata ayahku; "hidup itu pilihan dan setiap pilihan adalah resiko". Maka, kini aku sedang menjalani pilihan tersebut dan harus siap dengan resiko apa yang akan terjadi.
Seperti halnya... ketika semalam suamiku terbangun dari tidurnya, lantas ia menuju ke kamar mandi dan buang air kecil. Lalu balik lagi ke kamar dan mengaku kedinginan, sehingga memintaku untuk menyelimutinya. Saat itu tak ada kejanggalan yang berarti, kukira dia hanya kedinginan yang biasa saja namun melihatnya meringkel, aku jadi waspada dan bertanya-tanya, apakah dia sedang sakit? Lantas ketika bangun sahur dan melihat ia di sisiku yang sedang bertutupkan selimut maka kupegang keningnya dan benar ternyata; ia menunjukkan gejala demam. Setelah sahur dan meminum obat, kemudian berangkat shalat shubuh di masjid, setibanya di rumah ia segera mandi menggunakan air hangat. Dan seketika berangkat pergi mengajar ke Jakarta. Dari situlah awal mulanya ia jatuh sakit dan drop. Seusai mengajar di SMK Farmasi, ia mengabari bahwa suhu tubuhnya tinggi, ia hanya bisa berbaring bertutupkan selimut di rumah Cipinang. Aku sudah memberi tahunya untuk segera berbuka dan meminum obat namun ia merasa puasanya masih bisa dipertahankan hingga tiba waktu berbuka.
Setelah itu komunikasi kami terputus, dan dilanjutkan dengan ibu mertua yang menghubungiku dan meminta ijin agar suamiku menginap disana karena khawatir tidak bisa mengendarai motor untuk pulang ke Bekasi. Saat itu kujawab; "ya boleh saja, lebih baik malah menginap disana, apalagi besok pagi-pagi masih harus berangkat mengajar di SMK Farmasi". Setelah mendapat ijin dariku, ibu mertuaku pun menjadi lega dan menyampaikan ijinku pada suamiku yang tengah berbaring.
Kukira... suamiku tidaklah benar-benar sakit payah hingga harus menginap disana. Kukira juga, dengan istirahat beberapa jam disana akan mengembalikan staminanya sehingga bisa pulang ke Bekasi namun ternyata pada malam harinya ia mengabari bahwa benar-benar tak bisa pulang menemuiku di Bekasi. Entah karena rasa memilikiku yang besar ataulah bagaimana, saat itu aku menitikkan air mata dan berkata dalam hati; "seandainya suamiku sakit di Bekasi, mungkin aku bisa mengurusnya; membuatkannya air panas untuk mandinya, mengompress demamnya, membuatkannya susu hangat, menyelimutinya dan upaya lainnya". Namun nihil, justru peranku sebagai sang istri di tengah suami yang sedang lemah kondisinya aku hanya bisa berdoa dan terus berdoa semoga keluarganya disana dapat mengurusnya dengan baik, tanpa bisa berbuat lebih jauh.
Ya... aku merasa hanya aku yang bisa mengurus suamiku. Aku khawatir jika ia tengah sakit, tak ada satupun yang bisa mengurusnya dengan baik termasuk keluarganya sendiri. Bukan tanpa alasan, namun karena aku tahu bapak dan ibu mertuaku juga sudah berusia senja sehingga aku mengkhawatirkan tak banyak yang bisa diperbuat mereka ketika suamiku sedang sakit.
Lagi-lagi, sisi kewanitaanku banyak berperan disini hingga semalam aku tak bisa tidur karena mencemaskan apa yang akan terjadi pada suamiku tanpa aku di sisinya. Aku terus gelisah dan mengkhawatirkannya apakah dia akan semakin baik kondisinya di sana?
Namun, ibuku yang melihat gurat kegelisahanku berusaha meyakinkan bahwa seorang ibu tentu akan bisa mengurus anaknya dengan baik terlebih jika sang anak sedang sakit. Ibuku menasihati agar banyak mendoakan suamiku dan meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.
Ya... mungkin ini sisi kewanitaanku yang sedang berperan besar hingga aku merasa bahwa hanya aku yang pantas mengurus dan memberikan pelayanan sempurna pada suamiku. Mungkin ini juga karena rasa memilikiku yang terlalu besar terhadapnya sehingga aku memandang orang lain tak lebih baik dariku dalam mengurus suami.
Ohh Tuhan... aku hanya manusia biasa. Aku tahu banyak kesalahan yang telah kuperbuat maupun yang terlintas dalam pikiran. Namun hanya satu hal yang kupinta; ijinkan aku berada di sisinya, saat peran seorang istri dibutuhkan olehnya, itu saja. Aaamiin
Posting Komentar