Menjalani bulan Ramadhan ini, akan menjadi sebuah kondisi dimana ibu hamil berada dalam kegalauan untuk berpuasa atau tidak. Ya, seperti kondisiku yang tengah hamil 9 bulan lebih masih bertanya-tanya, apakah dalam usia kehamilan seperti ini masih boleh berpuasa ataukah berbahaya bagi sang janin?
Kondisi fisik seorang wanita dalam menghadapi kehamilan memang berbeda-beda. Namun, pada dasarnya, kalori yang
dibutuhkan untuk memberi asupan bagi sang buah hati adalah sama, yaitu
sekitar 2200-2300 kalori perhari untuk ibu hamil. Kondisi inilah yang menimbulkan konsekuensi
yang berbeda bagi para ibu dalam menghadapi saat-saat puasa di bulan
Ramadhan. Ada yang merasa tidak bermasalah dengan keadaan fisik dirinya
dan sang bayi sehingga dapat menjalani puasa dengan tenang. Ada pula
para ibu yang memiliki kondisi fisik yang lemah yang mengkhawatirkan
keadaan dirinya jika harus terus berpuasa di bulan Ramadhan.
Untuk kondisi tersebut, memiliki konsekuensi hukum yang berbeda bentuk pembayarannya.
1. Untuk Ibu Hamil yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya Saja Bila Berpuasa
Bagi ibu, untuk keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa. Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat, “Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al Baqarah :184)
2. Untuk Ibu Hamil yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya dan Sang Janin Bila Berpuasa
Sebagaimana keadaan pertama, sang ibu dalam keadaan ini wajib
mengqadha (saja) sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan ketika sang
ibu telah sanggup melaksanakannya.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat kami (ulama
Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya
khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka
dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan
semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).
Apabila orang
yang hamil khawatir dengan puasanya akan membahayakan
dirinya dan janinnya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan
mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).’” (al-Majmu’: 6/177, dinukil dari majalah Al Furqon)
3 .Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Sang Janin saja
Dalam keadaan ini, sebenarnya sang ibu mampu untuk berpuasa. Oleh
karena itulah, kekhawatiran bahwa jika sang ibu berpuasa akan
membahayakan sang janin bukan berdasarkan perkiraan yang lemah, namun
telah ada dugaan kuat akan membahayakan atau telah terbukti berdasarkan
percobaan bahwa puasa sang ibu akan membahayakan.
Sedangkan menurut Fatwa Syaikh al-Utsaimin
Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah
dalam Fatawa al-Shiyam, hal. 161, beliau ditanya: Jika wanita hamil tidak berpuasa tanpa ada udzur, padahal ia kuat dan mampu
dan tidak ada pengaruh buruk saat berpuasa, apa hukumnya?
Beliau menjawab:
لا يحل
للحامل أو المرضع أن تفطرا في نهار رمضان إلا للعذر، فإذا أفطرتا للعذر وجب
عليهما قضاء الصوم ، لقول الله تعالى في المريض : ( وَمَن كَانَ مَرِيضًا
أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ) . وهما بمعنى المريض
وإذا كان عذرهما الخوف على الولد فعليهما مع القضاء عند بعض أهل العلم
إطعام مسكين لكل يوم من البر (القمح) ، أو الرز، أو التمر، أو غيرها من قوت
الاۤدميين ، وقال بعض العلماء: ليس عليهما سوى القضاء على كل حال ؛ لأنه
ليس في إيجاب الإطعام دليل من الكتاب والسنة ، والأصل براءة الذمة حتى يقوم
الدليل على شغلها ، وهذا مذهب أبي حنيفة رحمه الله ، وهو قوي
"Wanita
hamil atau menyusui tidak boleh berbuka pada siang Ramadhan kecuali
karena ada udzur (alasan yang dibenarkan). Dan apabila keduanya berbuka
karena ada udzur, wajib atas keduanya untuk mengqadha' shaum berdasarkan
firman Allah ta'ala terhadap orang sakit:
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
"Dan
barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 185)
Keduanya masuk dalam kategori maridh
(orang sakit). Apabila alasan keduanya karena khawatir akan anaknya
maka disamping qadha' –menurut sebagian ulama- keduanya wajib memberi
makan seorang miskin untuk setiap hari berupa gandum, atau nasi, kurma,
atau makanan pokok lainnya. Sebagian ulama berkata: Tidak ada kewajiban
bagi keduanya kecuali qadha' dalam kondisi apapun, karena tidak ada
dalil dari Al-Kitab dan al-Sunnah yang mewajibkanya. Sedangkan hukum
asal adalah bara'ah dzimmah (terlepas dari tanggungan) sehingga tegak dalil yang menyibukkanya. Ini merupakan madhab Abu Hanifah rahimahullah, dan merupakan pendapat yang kuat."
Dalam fatwa beliau yang lain, Fatawa Shiyam
hal. 162, beliau ditanya: "Tentang wanita hamil, apabila ia khawatir
atas dirinya atau khawatir atas anaknya lalu berbuka (tidak berpuasa),
apa hukumnya?"
Beliau menjawab:
جوابنا على
هذا أن نقول : الحامل لا تخلو من حالين : إحداهما : أن تكون نشيطة قوية لا
يلحقها مشقة ولا تأثير على جنينها ، فهذه المرأة يجب عليها أن تصوم ؛
لأنها لا عذر لها في ترك الصيام
والحال
الثانية : أن تكون الحامل غير متحملة للصيام : إما لثقل الحمل عليها ، أو
لضعفها في جسمها ، أو لغير ذلك ، وفي هذه الحال تفطر ، لاسيما إذا كان
الضرر على جنينها ، فإنه قد يجب الفطر عليها حينئذ . وإذا أفطرت فإنها
كغيرها ممن يفطر لعذر يجب عليها قضاء الصوم متى زال ذلك العذر عنها ، فإذا
وضعت وجب عليها قضاء الصوم بعد أن تطهر من النفاس ، ولكن أحياناً يزول عذر
الحمل ويلحقه عذر آخر وهو عذر الإرضاع ، وأن المرضع قد تحتاج إلى الأكل
والشرب لاسيما في أيام الصيف الطويلة النهار ، الشديدة الحر، فإنها قد
تحتاج إلى أن تفطر لتتمكن من تغذية ولدها بلبنها، وفي هذه الحال نقول لها
أيضاً: أفطري فإذا زال عنك العذر فإنك تقضين ما فاتك من الصوم
"Jawaban kami atas pertanyaan ini, kami katakan: Wanita hamil tidak lepas dari dua kondisi: Pertama,
ia sehat dan kuat yang tidak merasa berat dan tidak berpengaruh buruk
pada janinnya. Maka wanita ini wajib berpuasa karena ia tidak memiliki
udzur untuk meninggalkan puasa.
Kedua,
wanita hamil tidak mampu menjalankan puasa, baik karena beratnya
kehamilannya, lemahnya pada fisiknya, atau sebab lainnya. Dalam kondisi
ini ia berbuka, terlebih lagi apabila bahayanya mengancam janinnya, maka
dalam kondisi seperti ini ia wajib berbuka (tidak puasa). Dan apabila
berbuka, ia seperti yang lainnya dari orang yang berbuka karena udzur,
yakni wajib atasnya mengqadha' puasa saat udzur itu telah hilang dari
dirinya. Jika ia telah melahirkan, wajib atasnya mengqadha puasa setelah
suci dari nifas. Tetapi, biasanya, hilangnya udzur hamil diikuti udzur
lain, yaitu menyusui. Wanita menyusui membutuhkan makan dan minum
terlebih saat musim panas yang siangnya lebih panjang, panasnya begitu
menyengat, ia butuh untuk berbuka untuk memenuhi makanan bagi anaknya
melalui air susunya. Dalam kondisi seperti ini kami katakan: Berbukalah,
dan apabila telah hilang udzur darimu, bayarlah puasa yang telah engkau
tinggalkan."
Posting Komentar