Ada sebuah cerita... tentang seorang ibu yang berasal dari Malang. Ibu tersebut selalu setia pergi ke kantor mengendarai becak, meskipun ibu tersebut mempunyai mobil. Para tukang becak sangat mengenal ibu tersebut. Tukang becak dekat dengan Sang ibu tersebut. Hari itu terasa sepi, biasanya Ibu tersebut pagi dengan tukang becak dan sore pulang dari kantor juga dengan tukang becak, tetapi Ibu tersebut tidak kelihatan. Tukang becak menunggu-nunggu, tetapi tidak muncul juga. Tukang becak rindu dengan ibu tersebut untuk selalu ingin bersamanya, mengobrol mulai dari keluarga sampai pekerjaan. Para tukang becak merasakan dihargai, dimanusiakan, karena biasanya para tukang becak itu merasa dikesampingkan oleh pemerintah atau oleh sebagian dari kita. Kadangkala digusur, tidak boleh mengendarai becak di jalan tertentu, dilarang keras.
Akhirnya, seminggu sudah kerinduan yang dinantikan para tukang becak belum juga terobati, karena ibu yang ditunggu-tunggu tersebut belum muncul juga. Para tukang becak memperoleh kabar, ternyata ibu tersebut menderita sakit. Tidak begitul lama Sang ibu yang dijadikan tempat berkeluh kesah dan tempat mengobrol tersebut telah berpulang ke Rahmatulloh. Para tukang becak tersebut merasa kehilangan orang yang selama ini menghargainya.
Pada saat pemberangkatan menuju pemakaman terasa sepi, tidak seperti pemakaman orang terkenal yang dihadiri tamu yang bermobil berderet-deret, kadangkala tidak berdoa, tetapi mengobrol kesana kemari, kadangkala mengobrol masalah institusinya, masalah bisnisnya, kadangkala disitulah mereka dapat bertemu kawan selevelnya. Tidak kelihatan para tukang becak, barangkali para tukang becak itu baru mencari rezeki untuk dapat menghidupi keluarganya, tetapi saat jenazah diberangkatkan tiba-tiba berdatangan bukan hanya satu tukang becak, tetapi puluhan tukang becak dengan becaknya menghantarkan pemakaman ibu tersebut. Para tukang becak itu tidak saling mengobrol, tetapi saling menangis, mengenang jasa Ibu tersebut. Meskipun kecil, tetapi sangat membekas di hati para tukang becak. “Ibu memilih naik becak daripada naik mobilnya.” kata salah seorang tukang becak dengan mata yang berkaca-kaca. “Ibu itu orangnya dermawan,” kata kawannya sambil mengeluarkan airmatanya. “Ibu itu nguwongke tukang becak,” kata tukang becak yang lain sambil mengusap air matanya.
Selamat jalan ‘Ibu Tukang Becak’ menemui Sang Penciptamu, semoga jasamu tak terlupakan. Kami selalu merindukan lahir Ibu-ibu tukang becak sesudahmu. Doa yang sederhana dari para tukang becak. Dan seperti itu pula kita, kesederhanaan mengajarkan kita untuk bisa menghargai sesama manusia dan memuliakannya. Aku yakin doa para tukang becak itu adalah doa yang dapat menembus langit dan sangat didengarkan oleh Alloh...
Posting Komentar