"Tidak ada yang sempurna di dunia.. Jika begitu adanya, mengapa masih mengharap berlebih dari apa yang sudah diberi oleh-Nya? Sekalipun masalah yang menyapa, ia bukan masalah yang tak ada jalan keluarnya. Karena pada-Nya saja, kita mengharap dan meminta.."

Postingan Populer

Pengikut

Semalam masih terbayang jelas. Saat gelas-gelas bergesekan satu sama lain, menimbulkan suara yang nyaring dan tiba-tiba terbang mengarah ke sudut kamar… Kemudian dengan sigap aku ikut menghindar, takut terkena pecahan kaca yang bisa melukai diriku.

Saat itu aku masih berusia 8 tahun, masa dimana seharusnya aku tak melihat apa yang pernah kulihat ketika itu. Masih lekat dalam ingatan dimana aku mencoba menenangkan diriku sendiri yang mengalami ketakutan luar biasa. Aku bahkan merasa tidak aman berada di rumah yang kini kutempati bersama kedua orang tuaku. Bagaimana tidak? Setiap detik hampir saja ada kekisruhan yang terjadi, aku menyebutnya perang suara. Persis seperti dengan apa yang biasa kutonton saat sinetron-sinetron tv dimulai.

Aku takut saat itu, saat kau genggam tanganku dengan kuat… Sakit, bahkan aku merintih dan menitikkan air mata. Tapi kau tak peduli, kulihat bibirmu bergerak dengan cepat, alismu terangkat ke atas, dahimu mengkerut dan tak ada senyum sama sekali yang tersungging. Aku sedih, kau seperti yang bukan kukenal saat itu. Kau tidak biasanya…

Kau tarik tanganku dan kau seret aku ke kamarku, sebuah tempat yang menjadi sangat menyeramkan buatku. Mengapa? Karena malam itu aku akan tidur sendiri, kau takkan mungkin menemani. Aku hanya bisa menangis tersedu-sedu, ditemani dengan boneka penguin kesayanganku… Sambil kusapa bonekaku dan memohonnya untuk bisa menjaga tidurku saat itu.

Sudah larut malam, tapi tetap saja mataku tak bisa terpejam. Aku masih saja membayangkan yang terjadi barusan. Saat bunyi gelas-gelas yang beradu satu sama lain, lengkingan-lengkingan suara yang sangat menakutkan bagiku dan bunyi daun pintu yang sedang dibanting. Tuhan… Aku hanya bisa menjerit dalam hati, menangisi terus dan terus malam itu, hingga mataku membengkak.

Tak terasa malam itu, mataku terpejam dengan sendirinya… Kunikmati mimpiku saat itu, teringat dengan janjinya Tuhan bahwa DIA akan memberikanku malaikat pelindung di bumi ini. Dan aku mendapatinya dalam wujud ibuku. Tapi, sekarang aku merasa malaikat itu sudah tidak ada, tak berarti sama sekali kehadirannya.

Sedari kecil, aku selalu disayang olehnya. Diajak bermain perosotan, bermain petak umpet, bermain masak-masakan sampai bermain dokter-dokteran… Kurasakan keceriaan yang sangat indah saat itu, tertawa bersama, dibelikan es krim dan dibelikannya baju renda berwarna biru terang. Ya, aku merasakan bersama malaikatku yang dijanjikan olehNya. Namun, sekarang kondisinya berbeda… Dan aku tak ingin lagi mengingat kenangan indah itu. Cukup akan membuatku bersedih mengingat sikapnya yang berbeda dulu dengan yang sekarang.

Semenjak dia mulai pergi pagi-pagi dan pulang larut malam, aku sudah tak merasakan lagi kehangatan cintanya. Dengan pakaian rapi ala wanita karir, ia bahkan tak sempat menyapaku dan pamitan, langsung saja ngeloyor pergi. Mataku baru terbuka, dan kulihat jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, aku merasa akan telat berangkat sekolah, segera aku bangun dan berdiri kemudian berjalan menuju ruang makan. Semua makanan sudah tersedia, tapi tak ada satu pun dari mereka yang berada disana. Kutanya pada mbok Ijah, yang sudah bekerja di rumah selama belasan tahun “Mbok, Bunda kemana? Ayah juga kemana? Kok sepi disini?”

Mbok Ijah yang saat itu sedang membersihkan meja ruang tamu menjawab sekenanya, “Sudah berangkat semua, Non”. Kecewa, itu yang kurasakan saat itu, tak ada satupun yang pamit pergi padaku bahkan tak sempat pula mereka membangunkanku untuk menyuruh berangkat sekolah dengan segera, berbeda sekali dengan beberapa bulan yang lalu. Saat semuanya masih indah kurasa.

Hari-hari di sekolah teramat menjenuhkan, bahkan aku sudah tak semangat lagi untuk belajar… Untuk apa belajar pikirku saat itu, toh mereka juga takkan peduli denganku lagi. Hampir 3 jam belajar di kelas namun tak kudapati materi yang bisa kuserap hari ini. Pun saat bel pulang berbunyi, kuayunkan langkahku dengan gontai. Rasanya aku tak semangat untuk pulang ke rumah. Ahh, lebih baik aku jalan-jalan saja seorang diri pikirku dalam hati.

Di tengah jalan, kuperhatikan seorang gadis kecil yang sedang dibelikan es krim oleh orang tuanya. Gadis kecil itu dengan lahap manyantapnya, rasa dinginnya es pun tak berarti lagi di lidahnya, raut wajahnya yang gembira terpancar karena diterik siang itu bisa menikmati sebuah es krim. Aku iri, sangat ingin membeli es krim juga, tapi aku tak punya uang. Aku lupa kalau uangku yang dititipin bunda ada di mbok Ijah dan belum kuminta sebelum berangkat sekolah tadi. Ahh, sesal hatiku karena tak bisa menikmati es krim seperti gadis kecil itu.

Lelah seharian berjalan kaki, membuatku ingin segera sampai ke rumah. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Segera aku berlari agar tak sampai keduluan oleh mereka yang sudah ada di rumah. Namun telat rasanya, mereka sudah ada di rumah, entah mengapa jam segini mereka sudah ada di rumah. Dan lagi-lagi dengan kejadian yang sama, perang suara. Aku tak mengerti apa yang sedang diributkan mereka, yang aku tahu saat itu aku lelah dan ingin tidur saja. Sambil perlahan menuju kamarku, aku sedikit menangkap kalimat yang dibicarakan mereka.

“Aku sudah capek dengan semuanya”
“Aku juga muak dengan kamu”
“Terserah apa maumu, aku banting tulang siang dan malam demi kita semua”
“Kau pikir, aku tidak? Aku juga lelah membantumu memenuhi kebutuhan kita”
“Hei, apa aku memintamu untuk membantuku mencari nafkah?”
“Hei, apa kau tidak sadar bahwa gajimu itu tidak cukup memenuhi kebutuhan kita!”

Hampir tiap perang suara, terjadilah dialog seperti itu. Aku tidak faham mereka mempermasalahkan apa. Mungkin permasalahan yang biasa terjadi pada orang yang dewasa. Aku mencoba untuk tidak ikut campur, tapi secara tidak langsung pun aku merekam semua yang terjadi ketika itu. Jelas kuingat, dari setiap perang suara yang terjadi selalu diakhiri dengan pecahan gelas kaca, bantingan daun pintu, rusaknya pot bunga, dan hal-hal menakutkan lainnya. Semua seakan menjelaskan bahwa aku sedang berada di neraka dunia saat itu.

Aku tak mengerti apa yang sedang dialami mereka, mengapa mereka selalu ribut, siapa yang sebenarnya memulai perang suara tersebut dan bagaimana awalnya bisa terjadi perang suara seperti itu. Aku masih kecil, memang belum saatnya mengetahui. Namun, semua itu menjadi sebuah awal di kehidupan baruku saat ini.

Semua seakan terjadi begitu saja… Perang suara terjadi lagi, kali ini aku sendiri yang melakukannya persis seperti mereka memperlakukannya dulu. Perselisihan sering dimulai dari hal-hal kecil, aku merasa sudah memiliki semuanya hingga sikap hormatku sudah tak berada lagi di tempatnya, suamiku sudah tak kuanggap lagi sebagai imamku. Pecahan gelas, bantingan daun pintu, rusaknya pot bunga dan hal-hal menakutkan lainnya dengan sama kupraktikkan. Ya, jelas sekali aku sedang mengulang peristiwa yang sama 17 tahun yang lalu.

Ayah, bunda… Perang suara yang kalian contohkan dahulu, menjadi kebanggaanku sendiri saat ini. Aku bisa mengikuti kalian dalam melengkingkan suara, mengangkat alis, mengerutkan dahi, menggerakkan bibir dengan cepat serta menggunakan barang-barang disekitar untuk meluapkan emosiku bahkan mungkin nasibku kelak akan sama seperti kalian, yang kini sepi dari perang suara karena suara kalian sudah tidak ada, tidak ramai lagi dan tidak akan pernah terdengar lagi.