Sekilas Menggali Makna Gender
Kata “Gender” seringkali dimaknai salah dengan pengertian "jenis kelamin" seperti halnya seks, yang sebetulnya arti itu kurang tepat. Secara terminologi, gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial dan budaya. Gender juga sering berargumen bahwa tidak ada manusia yang diberi status hak istimewa atas dasar jenis kelamin, yang menjadi dasar adalah kemampuannya.
Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan, sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Berbeda dengan jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh Tuhan serta tidak dapat ditukar atau diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya.
Perlu ditegaskan kembali bahwa Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Jadi sangat ironis apabila Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin.
Kesetaraan dan Keadilan Gender memang sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut. Kita semua menyadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan.
Terbentuknya Gender Differences (perbedaan gender) dikarenakan oleh beberapa hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan konstruksi secara sosial/kultural melalui ajaran agama atau Negara. Perbedaan gender tersebut ternyata mengantarkan ketidakadilan gender. Nah, ketidakadilan yang dilahirkan oleh perbedaan gender inilah sesungguhnya yang sedang digugat.
Bila kita cermati, isu gender sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru kita dengar, karena hakikatnya sejak manusia lahir di dunia ini telah dibedakan menjadi dua jenis kelamin yang berbeda, yaitu laki dan perempuan. Dan saat itu pula sudah terjadi konstruksi sosial budaya tentang peran masing-masing dari laki-laki dan perempuan ini.
“Kesetaraan Gender” memang masih menjadi isu menarik yang tak lekang oleh waktu untuk dibahas. Hampir sebagian orang menganggap bahwa isu ini merupakan produk Barat yang harus dibumi hanguskan. Mengapa? Pasalnya isu “Kesetaraan Gender” tak kurang diterjemahkan oleh beberapa kaum hawa untuk bersikap menyamai kaum adam dalam berbagai aspek kehidupan. Sebut saja seperti karir, penghasilan, atau mungkin kepopularitasan. Dan lihatlah akibatnya, institusi keluarga jadi berantakan, perceraian semakin marak, anak-anak tidak terurus, baik kebutuhan fisik maupun pendidikannya. Dan memang kita harus mengakui itu semua. Fakta tersebut memang sangat memprihatinkan.
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki menjadi tanda terwujudnya kesetaran dan keadilan gender, dengan demikian memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.
Kesetaraan Gender Dalam Permasalahan Kependudukan
Pada dasarnya memang isu gender bukan hanya sekadar menyangkut permasalahan hubungan laki-laki dan perempuan, tetapi juga berkaitan erat dengan masalah kependudukan. Bila mengulas kembali hasil dari Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional (ICPD) di Cairo pada tahun 1994, itu merupakan bukti penting dari komitmen masyarakat Internasional tentang isu-isu gender, kependudukan dan pembangunan dengan paradigma baru. Tujuan dari kesepakatan yang dicapai pada ICPD ini adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia, dan meningkatkan upaya pengembangan sumberdaya manusia melalui pengakuan adanya hubungan timbal balik antara kependudukan dengan kebijaksanaan dan program-program pembangunan terutama sektor ekonomi dan sosial.
Banyak masalah yang berkaitan dengan isu “Kesetaraan Gender” ini. Bila kita ulas dari segi masalah kependudukan, tentu tidak hanya dilihat dari sisi demografisnya saja, akan tetapi juga memperhitungkan aspek hak-hak asasi manusia serta menampung keperluan dan aspirasi perempuan dan laki-laki. Aspek gender dapat dikatakan sebagai sebuah inti dari kebijakan dan pengembangan program-program kependudukan; yang dalam hal ini peran perempuan dan laki-laki harus diupayakan secara berimbang.
Akan tetapi, pada kenyataannya sampai saat ini ketimpangan gender di berbagai bidang kehidupan di masyarakat Indonesia masih terjadi. Ketimpangan gender ini terutama tampak lebih menonjol di bidang pendidikan, ketenagakerjaan, politik maupun di bidang kependudukan khususnya keluarga berencana.
Kesetaraan Gender Di Bidang Pendidikan
Ketimpangan gender di bidang pendidikan tampak pada beberapa indikator pendidikan, seperti angka buta huruf, angka partisipasi sekolah, dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk laki-laki dan perempuan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik tahun 2002, persentase penduduk perempuan yang buta huruf pada tahun 2002 jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan persentase laki-laki yakni 7,5 persen : 2,8 peresn. Demikian pula angka partisipasi sekolah persentase laki-laki mencapai 60,8 persen sedangkan perempuan 57,2 persen. Sama halnya, kondisi pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk laki-laki dan perempuan juga menggambarkan ketimpangan yang relatif menonjol terutama penduduk yang menamatkan sekolah SMU ke atas. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin kecil persentase perempuan yang tamat. Perbedaan persentase penduduk perempuan yang tamat SMU ke atas dibandingkan dengan penduduk laki-laki hampir 10 persen yakni 42,3 persen : 32,2 persen untuk di daerah perkotaan dan 20,1 persen : 11,5 persen untuk di daerah perdesaan (BPS, 2002). Tentu hal ini mencerminkan bahwa akses perempuan ke pendidikan tinggi masih lebih terbatas dibandingkan dengan laki-laki.
Kemudian ketika isu gender dikaitkan dengan masalah ketenagakerjaan, dapat dilihat dari tingkat partisipasi angkatan kerja. Sementara itu, ketimpangan di bidang politik terjadi pada berbagai aspek seperti di bidang legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Di bidang legislatif terlihat hanya beberapa orang perempuan yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Di bidang eksekutif tampak dari kecilnya persentase perempuan yang menduduki jabatan di pemerintahan. Di bidang yudikatif nampak dari persentase penegak hukum seperti jaksa, pengacara dan Polri.
Pengetahuan, Pandangan, dan Sikap Masyarakat terhadap Konsep Gender
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan diketahui bahwa dari 240 responden yang terdiri dari 130 orang laki-laki dan 110 orang perempuan, ternyata sebagian besar (68,3 persen) tidak pernah mendengar istilah gender. Selebihnya 31,7 persen menyatakan pernah mendengar istilah tersebut, akan tetapi ada sebagian dari mereka mengatakan belum tahu artinya. Hanya 22,1 persen dari keseluruhan responden yang mengatakan pernah mendengar dan tahu artinya, dan kebanyakan dari mereka itu adalah laki-laki.
Responden yang menyatakan pernah mendengar atau tahu arti konsep gender umumnya mengetahuinya dari televisi (17,9 persen) dan surat kabar (15 persen). Menarik dikemukakan disini adalah temuan bahwa sumber televisi umumnya adalah sumber informasi utama masalah gender bagi responden perempuan, sedangkan surat kabar adalah sumber informasi utama responden laki-laki.
Dan pengertian responden terhadap istilah gender ternyata bervariasi. Sebagian terbesar (55, 8 persen) dari responden mengartikan gender sebagai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Ada 27,3 persen responden memahami gender sebagai peran perempuan dan laki-laki yang dibuat oleh masyarakat. Walaupun prosentasenya kecil, masih ada responden yang memahami gender sebagai urusan ibu-ibu..
Mengenai perubahan perilaku masyarakat setelah memahami istilah gender, terungkap bahwa 49,1 persen dari mereka menyatakan ada perubahan dan 50,9 persen menyatakan tidak ada perubahan perilaku. Mereka yang menyatakan perilakunya berubah, kerena mereka secara sadar ingin menerapkan konsep tersebut setelah memahami arti yang sebenarnya. Sebaliknya, yang menyatakan tidak ada perubahan perilaku, mereka ini umumnya memang telah menerapkan hal itu sejak sebelumnya walaupun tidak pernah mendengar dan tidak tahu arti dari gender tersebut.
Kenyataan ini cukup menarik, karena diduga bahwa laki-laki setelah mengetahui arti gender yang sebenarnya, mereka secara sadar terdorong untuk mengubah peran gender dalam rumahtangganya masing-masing. Beberapa contoh perubahan peran gender yang terjadi dalam rumahtangga, antara lain dalam bidang peran reproduktif seperti menyapu dan mencuci, laki-laki ikut mengerjakan; di bidang peran produktif laki-laki dan perempuan saling membantu; dan di bidang sosial tergantung pada jenis kegiatannya.
Pengetahuan, Pandangan, dan Sikap Masyarakat Mengenai KKG
Sama halnya dengan istilah gender, istilah KKG (kesetaraan dan keadilan gender) tampaknya juga belum banyak diketahui oleh masyarakat. Para responden yang menyatakan tahu tentang arti KKG ternyata pengetahuan mereka bervariasi. Sebanyak 48,3 persen dari jumlah responden menyatakan bahwa KKG itu adalah kesamaan kedudukan dan peranan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang pembangunan. Sebagian yang lainnya (32,8 persen) memahaminya sebagai partisipasi, peluang, manfaat dan kontrol yang sama antara laki-laki dan perempuan terhadap pembangunan. Ada juga yang mengartikan KKG itu sebagai persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Dan ternyata lebih banyak laki-laki daripada perempuan yang mengetahui bahwa KKG tersebut adalah partisipasi, manfaat, kontrol dan akses (peluang) yang sama antara laki-laki dan perempuan terhadap pembangunan.
Banyak tanggapan pro serta kontra mengenai KKG ini. Responden yang menyatakan sangat setuju dengan KKG mengemukakan argumentasi/alasan, antara lain:
1. Laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak dan tanggungjawab.
2. Laki-laki dan perempuan patut saling menghargai untuk menegakkan hak asasi manusia serta mewujudkan keadilan.
3. Laki-laki dan perempuan sama-sama punya kemampuan.
4. Laki-laki dan perempuan kualitasnya sama.
5. Laki-laki dan perempuan sama-sama pintar.
6. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai manusia.
7. Laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai tanggungjawab.
8. Laki-laki dan perempuan sama-sama makluk Tuhan.
9. Laki-laki dan perempuan sama-sama pandai dan terampil.
10. Laki-laki dan perempuan mempunyai kemampuan yang sama.
Di pihak lain, yang menyatakan kurang setuju dengan KKG alasannya antara lain:
1. Perempuan tidak mungkin melakukan pekerjaan laki-laki.
2. Tanggungjawab perempuan sudah ditetapkan di rumahtangga.
3. Perbedaan fisik.
4. Status perempuan tidak mungkin sama dengan laki-laki.
5. Tanggungjawab perempuan tidak sama dengan laki-laki.
Dengan berdasarkan hasil di atas dapat diartikan bahwa masyarakat khususnya para responden sudah menyadari bahwa kedudukan dan peranan antara laki-laki dan perempuan adalah seimbang, dapat saling mengisi, dapat digantikan, ataupun dapat dipertukarkan dalam pelaksanaanya.
Responden yang memandang KKG itu perlu diwujudkan, alasannya, antara lain:
1. Supaya mencapai keadilan.
2. Supaya laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak dan kewajiban.
3. Supaya lak-laki dan perempuan dapat saling menghargai.
4. Supaya laki-laki dan perempuan sama-sama dapat kesempatan.
5. Upaya harmonis dan rukun, dan
6. Agar KKG tidak sebatas diwacanakan.
Berdasarkan temuan-temuan di lapangan yang telah dibahas seperti tersebut di atas, beberapa saran/rekomendasi yang dapat diajukan adalah:
1. Sosialisasi gender dan KKG masih perlu dilanjutkan kesegenap lapisan masyarakat luas, supaya kedua istilah dapat dipahami masyarakat secara benar, sehingga dapat mendorong perubahan kondisi sosial budaya menuju ke arah yang lebih kondusif terhadap KKG.
2. Pengarusutamaan gender (PUG) perlu dipercepat penerapannya di berbagai sektor pembangunan, untuk mempercepat tercapainya KKG di dalam pembangunan.
Kesetaraan Gender Dalam Keluarga
Meski secara biologis ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, namun keduanya tidak lebih tinggi atau lebih rendah kedudukannya dalam pandangan Tuhan. Namun demikian, karena adanya ciri-ciri khusus yang melekat pada laki-laki dan perempuan, masing-masing dihadiahi peran yang berbeda berdasarkan kekhususan yang dimilikinya.
Bisa kita lihat, bahwa hamil dan menyusui tentu tak akan bisa digantikan perannya oleh laki-laki meski apapun jalan yang ditempuh untuk mengubahnya. Itu adalah keistimewaan yang melekat pada perempuan. Sementara di pihak laki-laki, berbekal kecenderungan fisik yang relatif lebih kuat daripada perempuan, peran mencari nafkah jatuh pada mereka. Peran itu melekat pada mereka. Sifat-sifat khusus yang dimiliki perempuan dan laki-laki menimbulkan peran yang berbeda. Dan perbedaan itulah yang akhirnya menuntut kewajiban dari keduanya untuk saling menghargai dan berusaha memenuhi perannya masing-masing.
Adapun hak-hak yang bersifat universal, seperti halnya hak untuk mencari ilmu, hak untuk dihargai, hak untuk didengar pendapatnya, hak untuk berkarya, dan sejenisnya adalah hak yang melintasi batas-batas gender. Jadi siapapun tak terbatas untuk memperoleh hak tersebut.
Di beberapa keluarga dapat kita lihat kenyataan dalam memutarbalikkan hak yang sifatnya khusus dan melupakan kewajiban-kewajiban yang seharusnya ia lakukan. Laki-laki dan perempuan dalam hal ini sama-sama bisa melakukannya. Ada perempuan yang lebih suka bekerja seharian di luar rumah untuk menumpuk rupiah, dan melupakan kewajibannya untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya padahal suaminya berkecukupan. Di sisi lain, ternyata ada juga laki-laki pemalas yang memanfaatkan istri atau anak perempuannya untuk bekerja, sementara sang suami hanya bersantai-santai di rumah.
Bisa kita bayangkan, ternyata tidak sedikit perempuan muda yang ditinggal pergi suaminya tanpa mendapatkan nafkah sepeser pun selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Sementara itu, ia harus memberi makan anaknya yang masih kecil. Kemiskinan yang mencekik tak jarang bisa menimbulkan prilaku negatif seperti terjerumus ke dalam praktek pelacuran. Berkaitan dengan hak perempuan akan harta juga ternyata masih belum merata. Di tengah-tengah masyarakat kita, masih terliaht banyak perempuan terzhalimi karena praktek-praktek semena-mena dari para suaminya, dan ia hanya bisa pasrah karena ia tidak paham akan hak tersebut.
Bila berbicara tentang para ibu yang bekerja di luar rumah, dan meninggalkan anak-anak mereka yang masih berusia dini, kita pun tak bisa melihatnya dari satu sudut pandang saja. Mungkin kita patut menyayangkan sikap para ibu yang menelantarkan anak-anaknya hanya demi uang, sementara penghasilan sang suami sudah lebih dari cukup. Akan tetapi, ternyata cukup banyak juga keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka bekerja bukan untuk mencari kemewahan, tetapi untuk memenuhi kebutuhan pokok yang harganya kini semakin merangkak naik. Beratnya beban ekonomi saat ini, tak jarang membuat seluruh anggota keluarga harus bahu-membahu dalam menanggungnya. Ketika kesempatan kerja bagi suami terbatas, para ibu pun terpaksa ikut nimbrung untuk mencari penghidupan.
Posting Komentar