Aku diam... tanpa kata yang keluar sedikitpun. Bingung ketika di setiap sudut selalu terdapat wajahmu... Wajah yang hampir dua bulan ini menemani keseharianku. Bukan tanpa sebab, sudah lelah bercampur air mata aku merasa seperti ini. Letih dan capek yang luar biasa sekali tatkala aku harus terus mencoba mengertimu setiap hari.
Kau anggap aku seperti anak kecil, bujuk rayumu sudah habis-habisan keluar untukku... Tapi aku tetap duduk termangu, sendiri di pojok rumah sebelah. Perlahan-lahan kuingat kisah-kisah kita yang direnda bersama, kian hari kian indah. Namun, masih ada yang mengganjal di hatiku. Rasa cemburu, ya itulah yang membunuhku.
Layaknya wanita, aku menggunakan perasaan begitu amat dalam. Segala hal bisa saja salah jika kutanggapi dengan perasaan kewanitaanku. Aku pun sadar, ada yang salah dari sikapku. Maka, aku memilih diam dan pergi berlalu, agar tak makin keruh suasana bersamamu. Kutarik nafas perlahan, lalu kuhembuskan agar batin ini tenang atas sikap-sikapmu yang kurang kusuka. Bahkan hari ini, aku begitu kecewa dengan sikapmu yang masih berkomunikasi dengan orang yang menjadi bagian dalam hidupmu terdahulu. Sementara dengaku, kau minta aku menghapus segala hal yang berkaitan dengan kenangan masa lalu. Lalu dimana rasa adilmu?
Pagi itu kusiapkan makanan kesukaanmu, kucucikan pakaianmu, kukerjakan urusan rumah tangga... Aku sadar itulah kewajibanku. Kemudian ketika kuhampiri engkau yang berada di kamar, sedang dengan nyantainya telepon-teleponan dengan kawanmu, setelah kau asyik ngobrol dengan ex masa lalu. Sungguh, aku sedang mempraktikkan untuk diam dan pergi berlalu... Tak ingin lama-lama disitu bersamamu. Kutinggalkan engkau perlahan... dan menuju tempat persembunyianku, tempat dimana membuatku tenang dan damai seorang diri.
Kau cari-cari aku... kau temui aku tanpa rasa bersalah, kau coba rangkul aku dengan erat. Namun aku enggan dan menolak seketika. Kau katakan, "Masak sama suaminya sikapnya gini sih, istighfar dek!". Ya Robb, sedari tadi aku sudah beristighfar, sudah dari tadi aku mencoba menahan emosi diri dengan meninggalkannya pergi. Aku letih, sungguh...
Aku mencoba untuk melaksanakan kewajibanku... Melayaninya sebagai seorang istri, menyiapkan sarapannya, mencucikan pakaiannya, membantunya dalam publikasi usaha kami bersama. Sementara dia? Hanya santai... dan sama sekali tak mengerti keletihan yang dirasa sang istri.
Aku tak bisa memaksa sungguh... Karena aku tahu, dia berhak atas sikapnya yang seperti itu. Pun aku berhak atas sikapku yang enggan berdekat-dekatan dengannya. Aku lebih memiliki diam, ya hanya diam... berharap dia mengerti maksud diamku.
Aku ingin kau memiliki kesadaran diri sebagai seorang suami... Tolong. Selain tugas nafkahmu pada keluarga, kau perlu tahu... Istrimu perlu bantuanmu, dia perlu perhatianmu dalam mengurangi bebannya. Hal sederhana saja, bantulah aku untuk bisa merapikan tempat tidur setelah kita bangun tidur, merapikan isi kamar yang berantakan dengan isi barang dimana-mana dan mengertilah untuk bisa merawat tubuhmu sendiri, rajin mandi agar terus wangi dihadapan sang istri dan mengurus keperluanmu sendiri tanpa perlu bertanya, " kaos dalam dimana dek?", "bedak tabur dimana dek?", "chargeran laptop dimana dek?" dan lain-lain. Sementara urusanku lainnya begitu banyak. Maka tak bolehkah aku merasa letih? Dan berharap kau bisa membantuku?
Dan kumohon, janganlah kau tambah letihnya fisikku dengan keletihan pikiran yang terus membayangiku terhadapmu, antara kau dengan ex masa lalumu yang sebaiknya tak usah kau hiraukan lagi. Seperti saat kau memintaku menghapus akun fulan, menghapus artikel yang berkaitan dengan fulan dan lain-lain. Maka seperti itupula aku mengharapkan kau melakukan hal yang sama.
hemm,,yang kaya gini dipost juga ya?
hehe..*peace
slmt berjuang membangun cinta ya^^
salam kenal.. -tika novalian-