"Tidak ada yang sempurna di dunia.. Jika begitu adanya, mengapa masih mengharap berlebih dari apa yang sudah diberi oleh-Nya? Sekalipun masalah yang menyapa, ia bukan masalah yang tak ada jalan keluarnya. Karena pada-Nya saja, kita mengharap dan meminta.."

Postingan Populer

Pengikut

Saat menyebut kata ‘non-fiksi’ yang tergambar dalam benakku adalah sebuah tulisan yang isinya bukan sebuah kisah rekaan atau karangan bohongan dari seorang penulis. Itulah mengapa aku lebih memilih masuk dalam divisi non –fiksi di FLP Jakarta karena aku suka bergelut dengan dunia ‘nyata’ –selain karena kemampuan khayalanku yang tidak bagus.
Barangkali tidak sedikit ya, penulis pemula seperti aku ini masih mengalami kebimbangan dalam menentukan jenis tulisan mana yang akan ditekuni. Baik tulisan fiksi maupun non- fiksi sebenarnya telah memiliki pendukungnya masing-masing. Disini, yang disebut sebagai 'pendukung' tulisan fiksi itu meliputi: novelis, cerpenis, dramawan dan kadang penyair pun sering dimasukkan ke dalamnya. Sementara untuk 'pendukung' tulisan non-fiksi disini meliputi para jurnalis, esais, penulis biografi, feature, tulisan ilmiah dsb. Tentu tidak begitu sulit bagi kita untuk mengenali mereka. Karena setiap penulis memiliki ciri khasnya masing-masing.
Namun yang ingin aku kupas saat ini bukanlah mengenai tulisan fiksi melainkan tulisan non-fiksi. Tulisan non-fiksi mengutamakan data dan fakta yang tidak boleh dibumbui oleh imajinasi atau rekaan penulis. Dalam tulisan non-fiksi yang berbentuk jurnalistik, penyampaian fakta ini bahkan harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam satu pakem yang disebut 5W1H (What, Who, When, Where, Why, How). Walaupun tidak sama, pentingnya referensi data ini juga menjadi syarat lho dalam tulisan yang lebih 'bebas' seperti esai, feature, memoar, atau kesaksian. Namun, ini tidak berarti bahwa tulisan non-fiksi sama sekali tidak memberikan kebebasan bagi penulisnya.
Penulis non-fiksi tentu saja dapat menuliskan tema apa saja yang ia inginkan, bedanya hanya harus menyampaikannya dengan data yang dapat dipertanggung jawabkan, minimal oleh dirinya sendiri. Bahkan dalam praktiknya, bisa dibilang topik untuk tulisan non-fiksi yang berupa opini atau feature juga lebih mudah ditemukan. Cukup dengan mengamati, menilai, atau memiliki usul, sebuah topik akan cepat didapat. Satu hal lagi yang membedakan tulisan non-fiksi dengan fiksi adalah kejelasan makna yang ingin disampaikan penulis dalam karyanya. Dengan menulis sebuah tulisan non-fiksi yang baik dan sistematis, pembaca akan lebih mudah digiring ke sebuah opini atau pesan yang ingin disampaikan penulis. Tanpa harus perlu mengartikan simbolisasi atau metafora pesan yang ingin disampaikan.
Membahas non-fiksi ini begitu penting. Bila kita telaah kembali, tulisan non-fiksi pun saat ini tidak selalu bergaya laporan yang kaku, penuh kutipan data serta referensi yang membuatnya 'kering'. Ini bisa dilihat dari tulisan-tulisan feature, biografi, otobiografi, memoar, yang kini semakin banyak yang bisa kita nikmati seperti halnya membaca karya fiksi atau sastra.
Mengingat bahwa proses pembelajaran manusia itu pada awalnya adalah selalu dengan meniru, seorang penulis pemula yang lebih banyak membaca tulisan-tulisan yang berbentuk jurnal atau pendapat (non-fiksi) biasanya juga cenderung akan membuat tulisan-tulisan bergaya serupa. Dan faktor-faktor selanjutnya bisa berasal dari lingkungan, budaya serta sistem pendidikan. Melihat beberapa hal ini (terutama faktor-faktor yang berasal dari luar), paling tidak kita jadi mengetahui dan bisa mengarahkan pilihan kita atau orang lain dalam belajar menulis.

Sekali lagi, tulisan non-fiksi tidak dapat dipungkiri berkenaan dengan esai, karya ilmiah, artikel, opini dan sebagainya.
1. ESAI
Masih ingat dengan tipe esai yang pernah dibicarakan dalam kelas bahasa di sekolah? Esai dapat menjadi bentuk tulisan non-fiksi yang luar biasa kreatif lho.
Di dalam koran atau majalah, kita bisa menemukan esai dalam tulisan-tulisan opini para pakar, kolom para budayawan dan editorial (tajuk rencana) yang ditulis redaksi media bersangkutan.
Meskipun berbeda, beberapa jenis esai tadi sebenarnya memiliki kesamaan bentuk dasar: mereka selalu dimulai dengan pengantar, yang mengatakan apa yang akan dibahas, kemudian dilanjutkan rangkaian paragraf yang padat dengan bahan-bahan, lalu diakhiri dengan kesimpulan yang menjelaskan semua dalam sebuah keutuhan. Ingat: ”Pengantar-Tubuh-Kesimpulan”.
Bahkan esai kreatif pun memakai bentuk dasar semacam ini. Pertama, biarkan pembaca mengetahui topiknya, kemudian jelaskan intinya (sedikit) dan mengapa itu penting. Kita bisa juga menyelipkan beberapa baris puisi atau dialog untuk tulisan eksposisi. Atau bisa mengubah urutan tampilan bahan-bahan—menggunakan teknik kilas-balik, atau membuat pembaca penasaran tentang apa yang akan terjadi nanti. Selama kita tetap menjaga bentuk dasar “pengantar–tubuh–kesimpulan”.
2. SKETSA TOKOH
Sketsa tokoh merupakan profil singkat dari seseorang yang sangat menarik (atau seorang yang biasa-biasa saja namun beberapa aspek kepribadiannya menarik untuk ditampilkan). Panjangnya kurang lebih sekitar 500 kata atau kurang. Tulisan ini bisa menjadi artikel tambahan atau pendamping dari tema yang lebih panjang. Tentu saja, sketsa tokoh juga dapat berdiri, tapi diperkaya oleh semua hal lain yang terkait dengannya.
Karena umumnya sangat pendek, seringkali sketsa tokoh terfokus hanya pada satu aspek dari tokoh bersangkutan. Misalnya: Ayahku sebagai pahlawan; tetanggaku si pemalas, atau Eros Djarot sebagai politisi (meski dia juga sutradara dan penggubah lagu).
Tidak semua detil tentang Eros Djarot perlu ditampilkan dalam sketsa. Detil-detil perlu dipilih, diambil hanya yang relevan saja dengan tema dia sebagai politisi. Kapan dan kenapa dia tertarik pada politik, misalnya, atau kenapa dia memilih mendirikan Partai Nasional Bung Karno; bukan detil tentang penyakitnya pada masa kanak-kanak. Sekali lagi lho: detilnya yang relevan.
Penulisan sketsa tokoh ini sangatlah ketat. Sangat singkat. Ukurannya yang pendek tidak memberi ruang untuk kata-kata yang mubazir. Menulis sketsa tokoh adalah seperti menulis cerita pendek mini; merupakan latihan yang bagus bagi penulis yang sering berlama-lama dan menggambarkan terlalu banyak detail. Bentuk penulisan ini memaksa penulis agar lebih fokus. Dibutuhkan disiplin ketat di sini, tapi sketsa tokoh juga bisa bahan bacaan yang sangat menyenangkan dan menghibur.
3. SEJARAH SINGKAT
Sejarah singkat sebenarnya lebih merupakan topik atau tema ketimbang bentuk. Struktur penulisan sejarah singkat umumnya sama dengan penulisan esai (dan memang bisa berbentuk esai). Karya non-fiksi kreatif ini menampilkan sejarah dari obyek, tempat atau peristiwa yang khas. Bahkan tempat yang sangat khas (spesifik), misalnya sebuah kamar dalam bangunan besar.
Seperti halnya sketsa tokoh, detil-detil dalam sejarah singkat harus dipilih dan diambil hanya yang relevan saja. Banyak koran komunitas atau koran lokal, dan bahkan koran besar dan majalah, biasa memuat artikel tentang “sejarah lokal” yang ditulis ringkas dan ketat. Misalnya: Kota Tua Jakarta, Riwayat Taman Surapati, atau Kamar Nyai Roro Kidul di Samudera Beach Hotel.
4. MEMOAR
Memoar merupakan catatan fakta-fakta sederhana tentang masa lalu si penulis. ”Memoar Bung Hatta” adalah salah satu contohnya. Memoar merupakan salah satu jenis non-fiksi, namun umumnya tidak ditulis secara imajinatif. Jika melibatkan teknik kreatif—misalnya dengan mengambil elemen fiksi atau puisi, serta teknik penuturan cerita rakyat (folklore)—memoar bisa dimasukkan dalam kerajaan karya non-fiksi yang kreatif.
Memoar seringkali bisa sepanjang sebuah buku, terutama ketika merekam seluruh hidup penulisnya. Namun, umumnya merupakan cukilan pendek dari hidup penulis, hanya kurun tertentu atau aktivisme tertentu dalam hidupnya,
Memoar bahkan bisa hanya berbahan kumpulan buku/catatan harian tentang peristiwa tertentu atau catatan perjalanan ke tempat tertentu yang ditulis dengan gaya ”aku” (orang pertama)

Bagiku, menulis artikel non-fiksi justru lebih mudah ketimbang fiksi (cerpen, novel, dst). Entah kenapa.
Diantara kita tentu masih banyak yang bingung untuk menulis non-fiksi, sebenarnya mudah saja. Hanya memerlukan "bahan dasar" yakni sebagai berikut:
1. Ide
Ide itu terdapat di mana-mana. Kali ini, kita bisa mengambil contoh ide yang sederhana saja, yakni: "saya ingin sekali membaca buku sebanyak-banyaknya, namun sayangnya saya tidak punya waktu dan tidak punya uang untuk membeli buku yang banyak."
Nah, seperti ini adalah ide yang cukup bagus dan bisa kita angkat menjadi sebuah tulisan. Di dalam ide ini terdapat sebuah masalah yang dapat kita kembangkan nantinya.
2. Berpikir sistematis
Bila idenya sudah ketemu, saatnya kita berpikir sistematis. Berpikir sistematis ini sangat penting sekali. Salah satu kegagalan para penulis pemula adalah: mereka belum terbiasa berpikir secara sistematis. Akibatnya, punya ide, tapi bingung harus mulai dari mana, bagaimaan cara mengembangkannya, dan seterusnya. Karena itu, kalau kita ingin jadi seorang penulis non-fiksi yang berhasil, cobalah mulai berlatih berpikir sistematis. Begitu ada ide, kita analisis dia secara runut, poin per poin, langkah demi langkah.
Dari contoh di atas, mari kita coba mengembangkannya berdasarkan pemikiran yang sistematis:
• Saya berpendapat bahwa membaca itu sangat penting. Karena itu, saya harus membaca buku sebanyak-banyaknya. Apa saja sih, manfaat membaca buku itu?
* Kendala #01: Saya tak punya waktu yang banyak. Saya kan sibuk, banyak kerjaan, dst...
* Kendala #02: Uang saya terbatas, sehingga saya tidak bisa membeli buku yang banyak.
* Alternatif pemecahan masalah:
 Pinjam di perpustakaan.
 Pinjam buku ke teman. Perluas pergaulan sehingga makin banyak teman yang bisa meminjamkan buku.
 Membaca ketika dalam perjalanan.
 Membaca di sela-sela tugas kantor.
 Sering-sering browsing di internet,
 Dan seterusnya.
* Pembahasan terhadap "alternatif pemecahan masalah":
o Tentang pinjam di perpustakaan: Wah, tidak bisa! Saya juga tak punya waktu untuk minjam ke perpustakaan. Lagipula, saya seringkali belum membaca
bukunya, padahal sudah saatnya dikembalikan lagi.
o Tentang pinjam ke teman: wah, teman saya sedikit. Saya kan orangnya kuper.
dan seterusnya...
* Pemecahan masalah secara menyeluruh
* Kesimpulan
Nah, dari sistem berpikir sistematis tersebut, kita sudah menemukan KERANGKA KARANGAN. Ya, kerangka karangan ini sangat penting, karena dari sini kita bisa mengembangkan tulisan. Kerangka tulisan ini bisa kita tulis di kertas, atau cukup disimpan di kepala saja. Terserah kita memilih yang mana, tergantung kebiasaan dan kemampuan masing-masing.
3. Data (ini cukup relatif, karena ada juga artikel yang bisa ditulis tanpa harus mencari data).
Alangkah bagusnya jika tulisan kita lengkapi dengan data pendukung. Misalnya: berapa koleksi buku yang telah saya miliki, berapa rata-rata harga buku. Dari total penghasilan saya, berapa rupiah yang dapat saya sisihkan untuk membeli buku. Dan seterusnya. Data ini akan membuat tulisan kita lebih "kaya".
4. Fokus pada masalah. Jangan suka melebarkan topik ke mana-mana.
Nah, ini adalah masalah yang seringkali tidak kita sadari ketika menulis. Sebab, kita merasa bahwa apa yang kita tulis masih berhubungan dengan tema utamanya, padahal sebenarnya tidak terlalu berhubungan, dan tidak perlu dibahas.
Misalnya begini:
Ketika menulis tentang ide di atas (kendala saya dalam membaca buku), kita tanpa sadar membahas tentang "gerakan gemar membaca yang dicanangkan pemerintah." Kita uraikan tema ini panjang lebar, ditambah berbagai data penunjang.
Hm, kalau tema ini dibahas sekilas saja, mungkin tidak terlalu masalah, karena justru bisa menjadi penguat argumen kita bahwa membaca itu memang sangat penting. Dan memang, tema "gerakan gemar membaca" ini masih berkaitan erat dengan ide yang sedang kita tulis. Masalahnya adalah, jika kita mulai membahas tema tambahan ini secara panjang lebar, tulisan kita menjadi tidak fokus lagi. Di dalamnya sudah ada dua tema besar yang sama-sama kuat. Dan pembaca nantinya akan bingung, "si penulis ini sebenarnya sedang membahas apa, sih?"

Nah, jika keempat poin ini sudah kita miliki, maka Insya Allah, menulis non-fiksi bisa menjadi pekerjaan yang sangat mudah lho.
Masih merasa kesulitan membuat naskah non-fiksi?
Bagi penulis pemula, membuat suatu tulisan yang berbeda dengan yang biasa ia tulis bisa menimbulkan kesulitan sendiri. Berikut ada beberapa tips yang mungkin bisa kita coba untuk mengatasi kesulitan tersebut:
1. Sesuaikan referensi bacaan. Sebagaimana bahan bacaan seringkali (kalau tidak selalu) mempengaruhi cara atau kecenderungan kita dalam menulis, banyak membaca tulisan tertentu juga akan mampu mengubah apa yang kita tulis. Seorang yang ingin mampu menulis karya non- fiksi atau ingin merancang sebuah jurnal ilmiah akan sulit untuk menyampaikan idenya secara sistematis, analitis dan jelas jika ia malah membaca karya Shakespeare yang memakai bahasa yang penuh metafora.
2. Tulisan non-fiksi jenis menuntut kata-kata yang dapat dengan efektif menjelaskan makna. Karenanya, latihlah diri kits untuk menulis kalimat-kalimat bermakna tunggal, tidak bersayap, atau dengan prinsip satu paragraf satu ide. Karenanya kata-kata yang digunakan hendaknya juga lugas, jelas, dan sebisanya menghilangkan metafora atau simbol-simbol yang sering terdapat di bacaan sastra. Tulisan non-fiksi dibatasi juga oleh fakta dan aturan-aturan atau hukum tertentu. Jadi berlatihlah menulis dengan selalu memperhatikan unsur-unsur seperti 5W1H, cara mengutip dan menempatkan referensi, logika berpikir tulisan dsb.
3. Pada akhirnya, niat dan ketekunan adalah kuncinya. Tanpa niat untuk melengkapi referensi data-data yang dapat mendukung sebuah ide, sebuah tulisan yang dimaksudkan sebagai jurnal ilmiah hanya akan berakhir menjadi sebuah tulisan komentar sambil lalu yang mudah disanggah.

Jadi sudah tida ada alasan kan untuk bisa menulis non-fiksi? Yang penting ada kemauan kuat untuk selalu memperbaiki tulisan dan rajin-rajin membaca karya tulisan orang lain.