"Tidak ada yang sempurna di dunia.. Jika begitu adanya, mengapa masih mengharap berlebih dari apa yang sudah diberi oleh-Nya? Sekalipun masalah yang menyapa, ia bukan masalah yang tak ada jalan keluarnya. Karena pada-Nya saja, kita mengharap dan meminta.."

Postingan Populer

Pengikut

Ayah…
Bagiku seorang yang namanya jarang kusebut. Mengapa? Sebab bagiku, sosok seorang ayah itu tidak memberi definisi apa-apa dalam kehidupanku.

Seseorang yang hampir dikatakan tidak ada rasa kepedulian terhadap anaknya. Entah mengapa begitu dingin seorang yang dinamakan ‘Ayah’ itu.

Bila ditanya, siapakah orang yang paling aku sayang di dunia ini… jawabannya tentulah ibuku. Karena bagiku, sosok ibulah yang paling berperan penting dalam kehidupanku selama ini.

Entah seperti anak-anak lainnya atau tidak.. tapi yang pasti, aku kurang merasakan peran seorang ayah. Ia sering pulang malam, dan ketika sampai rumah pun.. tidak ada kehangatan yang diberikan olehnya.

Sosok yang membuatku geram dan akhirnya tidak ada penghormatan sama sekali padanya. Saat itu ku ingat pasti tatkala usiaku beranjak 9 tahun, aku pernah mencemoohnya dengan kata-kata yang tidak pantas diucapkan seorang anak pada ayahnya. Hanya karena keinginanku tidak bisa dipenuhi olehnya. Aku hanya berfikir, bahwa kalau sudah tidak mendapat perhatian darinya, paling tidak bentuk perhatian itu bisa tergantikan dengan terpenuhinya kebutuhanku. Minta dibelikan mainan, baju baru dan sebagainya. Namun ternyata itu nihil semua.

Semakin jengkel lah aku, bahkan aku tidak ingin dikecup keningnya oleh orang yang dinamakan ayah tersebut pada saat syukuran sederhana di hari ulang tahunku.

Beranjaknya usia, ketika saat itu aku masuk Sekolah Menengah Pertama… itulah pertama kalinya sejarah dalam hidupku, peran orang tua khususnya ayah sangat berarti besar. Betapa paniknya aku, ketika pulang sekolah rok biru seragamku basah oleh cairan yang berwarna merah. Aku pun kaget dan panik luar biasa, padahal saat itu ibuku tengah naik haji ke tanah suci bersama nenekku. Yang ada di rumah, hanyalah aku bersama adik dan sosok yang dinamakan ‘Ayah’.

Ia lah yang menyambutku, tatkala aku menangis tersedu-sedu sampai rumah dalam keadaan sedih dan karena ditambah dengan perutku yang sakitnya luar biasa.

Aku malu. Lalu aku masuk kamar tanpa berkata apa-apa terhadap ayahku. Ia menyusul ke kamarku dan menanyakan apa yang terjadi, lalu aku pun luluh dan mau menjelaskan keadaanku padanya saat itu.

Ayahku tersenyum dan berkata, “Gak apa-apa, ini pertanda anak gadis ayah sudah dewasa. Kamu sudah mendapat tamu bulanan. Nanti ya ayah belikan pembalut dulu.”.

Degg… hatiku teriris dengan kata-kata lembut darinya. Ohh Tuhan, di saat kritis dan aku tidak tahu harus berbuat apa, justru ialah yang hadir menemaniku. Ialah yang menenangkanku disaat kondisiku seperti itu, tanpa hadirnya peran ibu disampingku.

Semakin tersadar, ayahku mempunyai peran berarti dalam hidupku. Tidak hanya ibuku. Ialah sosok yang hebat itu, sosok yang hadir disaat aku membutuhkannya.

Pun saat aku menginjak usia dewasa, aku semakin mengerti arti dari hadirnya seorang ayah. Aku melihat beban berat sedang ditanggungnya. Aku melihat segala hal yang menjadi kebutuhanku perlahan terpenuhi.. Satu per satu bisa aku dapatkan. Bersama itu pula satu per satu uban putih muncul diantara rerimbunan rambut ayahku.

Ya. Semakin hari aku tersadar, banyak perubahan yang terjadi pada diri ayahku.. Warna rambutnya yang berubah, kerutan di wajahnya yang tidak lagi tersembunyi dan itu membuatku semakin yakin, bahwa ayahku tengah berjuang keras dalam membahagiakan keluarganya. Seperti tatkala ia telat pulang kerja malam hari karena ada rapat di kantornya, ia selalu membawakan kami makanan yang bersisa dari rapat di kantornya. Melihat wajahnya yang sumringah benar-benar menandakan rasa senangnya ketika bisa membawakan makan malam untuk anak serta istrinya.



Begitulah ayahku… Ialah yang selalu mengajarkan padaku untuk hidup apa adanya. Kadang hal ini membuatku jengkel karena kita selalu berbeda pendapat. Seperti ketika aku sibuk mengurusi acara di kampusku, kemudian membuatku jadi kecapaian dan ayahku saat itu berkata, “Makanya jangan terlalu aktif mbak. Kesehatanmu juga kan harus diperhatikan.” Hal itu memicuku untuk balas mengatakan, “Ahh yang seperti ini biasa, ayah gak ngerti sih kalau ini sebuah perjuangan dan setiap perjuangan tentu harus ada pengorbanan yang diberikan” ucapku sambil ngeloyor pergi.

Sikapku memang dapat dikatakan tidak sopan terhadap ayah. Mungkin karena perbedaan pola pikir kita. Namun satu hal yang aku pahami, bahwa ayahku hanya ingin anaknya selalu berada dalam keadaan yang baik-baik saja. Cukup.

Suatu hari, ayahku pulang kerja dengan wajah lesu dan nampak terbatuk-batuk terus tiada henti. Hatiku miris melihat perubahan kondisi tubuhnya. Ia mulai lemah, ia mulai mudah terkena penyakit. Aku melihat di wajahnya penuh keletihan teramat sangat. Duhai ayah! Rasanya ingin sekali aku membantu mengurangi segala kepenatanmu. Namun apa daya, saat itu aku belum bisa membantu banyak kecuali semakin tersadar untuk selalu berbuat baik dan berbakti lebih dalam lagi demi membuktikan rasa kasih sayangku padanya.

Aku dan ibuku mencoba mengajaknya untuk pergi bekam –pengobatan secara islami. Ya. Itulah rutinitas yang biasa dilakukan oleh aku dan ibuku jika kondisi tubuh kami dalam keadaan tidak sehat. Seperti biasanya, ayahku menolak mentah-mentah ajakan kami, dengan rasa ketidakpercayaannya pada pengobatan islami seperti itu. Bahkan di ajak berobat ke dokter pun, ayahku juga menolaknya. Tidak habis pikir mengapa ia tidak mau sama sekali pergi berobat. Sampai suatu saat aku mengintipnya di kamar tidurnya tengah menghitung beberapa lembaran uang berwarna merah yang sedang di tempatkan ke dalam beberapa pos amplop yang berada di sisinya.

Aku mengambil kesimpulan bahwa ayahku tidak mau pergi berobat karena berfikir uangnya sayang jika dikeluarkan untuk berobat sedangkan pos pengeluaran kebutuhan kami banyak sekali.
Rasanya sedih sekali. Begitu besar kasih sayangnya pada keluarga kami.. Sampai-sampai ia rela menyimpan rasa sakitnya demi memenuhi kebutuhan anak istrinya, demi membahagiakan kami.

Duhai Allah. Apa yang bisa kuperbuat untuk sedikit meringankan bebannya? Bola matanya yang tidak lagi bersinar terang, wajahnya yang tampak lesu, kerutan pun mulai ku lihat dengan jelas. Itu semua cukup menjadi bukti, ia tengah berjuang memberikan segala yang terbaik bagi keluarganya.

Aku menyesal sekali, mengingat apa yang dulu pernah kulakukan padanya. Tidak ada penghormatan sama sekali, tidak ada rasa kasih sayang dariku padanya. Sungguh aku menyesal.

Semakin dalam lagi aku merenung, hingga aku berusaha mencoba mencari penghasilan demi sedikit meringankan bebannya. Aku ingin hidup mandiri… Aku ingin bisa mengurangi segala keletihannya dalam menafkahi kami.

Akhirnya aku bisa mewujudkan hal itu. Perlahan aku bisa memenuhi kebutuhanku dengan uang yang bisa kuperoleh sendiri. Ada suatu kebanggaan bagiku, bisa membantu meringankan beban ayahku. Dan sinarnya kembali muncul… Sinar seorang ayah yang hampir redup. Dan semua itu karena kita saling membahu. Ya. Demi kebahagiaan kita bersama.

Suatu saat di kampusku diadakan seminar tentang peran keluarga dalam menghasilkan anak yang berkualitas. Banyak sekali poin penting yang aku dapatkan dan dicerna dengan baik. Berikut ada kata-kata dari sang pemateri yang bagiku sangat bermakna sekali.

“Betapa peran sang ayah tidak jauh lebih penting dibandingkan peran ibu. Ketahuilah, laki-laki diciptakan sebagai pemimpin keluarga serta sebagai tiang penyangga dari bangunan keluarga, dia senantiasa akan menahan setiap ujungnya, agar keluarganya merasa aman teduh dan terlindungi. Diciptakan bahunya yang kekar & berotot untuk membanting tulang menghidupi seluruh keluarganya & kegagahannya harus cukup kuat pula untuk melindungi seluruh keluarganya. Diberikan kemauan padanya agar selalu berusaha mencari sesuap nasi yang berasal dari tetesan keringatnya sendiri yang halal dan bersih, agar keluarganya tidak terlantar, walaupun seringkali dia mendapatkan cercaan dari anak-anaknya. Diberikan keperkasaan & mental baja yang akan membuat dirinya pantang menyerah, demi keluarganya dia merelakan kulitnya tersengat panasnya matahari, demi keluarganya dia merelakan badannya basah kuyup kedinginan karena tersiram hujan dan hembusan angin, dia relakan tenaga perkasanya terkuras demi keluarganya & yang selalu dia ingat, adalah disaat semua orang menanti kedatangannya dengan mengharapkan hasil dari jerih payahnya. Diberikan kesabaran, ketekunan serta keuletan yang akan membuat dirinya selalu berusaha merawat & membimbing keluarganya tanpa adanya keluh kesah, walaupun disetiap perjalanan hidupnya keletihan dan kesakitan kerap kali menyerangnya. Diberikan perasaan keras dan gigih untuk berusaha berjuang demi mencintai & mengasihi keluarganya, didalam kondisi & situasi apapun juga, walaupun tidaklah jarang anak-anaknya melukai perasaannya serta hatinya. Padahal perasaannya itu pula yang telah memberikan perlindungan rasa aman pada saat dimana anak-anaknya tertidur lelap. Serta sentuhan perasaannya itulah yang memberikan kenyamanan bila saat dia sedang menepuk-nepuk bahu anak-anaknya agar selalu saling menyayangi & mengasihi sesama saudara. Diberikan kebijaksanaan & kemampuan padanya untuk memberikan pengetahuan padanya untuk memberikan pengetahuan & menyadarkan, bahwa istri yang baik adalah istri yang setia terhadap suaminya, istri yang baik adalah istri yang senantiasa menemani. & bersama-sama menghadapi perjalanan hidup baik suka maupun duka, walaupun seringkali kebijaksanaannya itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada istri, agar tetap berdiri, bertahan, sejajar & saling melengkapi serta saling menyayangi. Diberikan kerutan diwajahnya agar menjadi bukti bahwa laki-laki itu senantiasa berusaha sekuat daya pikirnya untuk mencari & menemukan cara agar keluarganya bisa hidup di dalam keluarga bahagia & tubuhnya yang bungkuk agar dapat membuktikan, bahwa sebagai laki-laki yang bertanggungjawab terhadap seluruh keluarganya, senantiasa berusaha mencurahkan sekuat tenaga serta segenap perasaannya, kekuatannya, keuletannya demi kelangsungan hidup keluarganya. Diberikan kepada laki-laki tanggung jawab penuh sebagai pemimpin keluarga, sebagai tiang penyangga, agar dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. dan hanya inilah kelebihan yang dimiliki oleh laki-laki, walaupun sebenarnya tanggung jawab ini adalah Amanah di dunia & akhirat."

Subhanallah, tersentuh sekali dengan kata-kata pemateri tersebut. Batinku pun tanpa ragu mengiyakan segala perkataan pemateri mengenai peran seorang laki-laki yang menjadi suami serta ayah dalam sebuah keluarga.

Aku tahu. Bahwa selama ini segala peringatan darinya, segala bentuk perhatian yang ada meski sebenarnya justru aku tidak merasa mendapatkan hal itu merupakan bentuk kasih sayang darinya. Ya. Karena ia adalah seorang laki-laki yang berbeda dengan wanita dalam mengapresiasikan bentuk kasih sayang terhadap keluarganya.

Tuhan. Mengapa aku baru menyadari hal ini? Mengapa setelah uban putih di rambutnya tumbuh dengan lebat, aku baru menyesali. Mengapa sikapku tidak mencerminkan sama sekali sebagai seorang anak yang berbakti. Ohh, hanya penyesalan yang datang menghampiri.

Akankah aku bisa selalu bersamanya hingga akhir hayatku kelak? Tidak terasa bulir air mata ini menetes dari kelopak mata. Berbeda dengan ayahku, aku tahu meski tangisnya tersembunyi, pastilah ia menangis di dalam hatinya ketika aku sakit dan terbaring lemah. Aku tahu ia mencoba tetap tegar melihat putri kesayangannya ini jatuh sakit.

Karena ayahku adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat…Bahkan ketika ia tidak kuat untuk tidak menangis. Ia harus terlihat tegas bahkan saat ia ingin memanjakanku.

Ayahku ingin anak-anaknya punya lebih banyak kesempatan daripada dirinya, menghadapi lebih sedikit kesulitan, dan tidak tergantung pada siapapun tapi selalu membutuhkan kehadirannya.

Ayahku pernah berkata “Ayah akan selalu memelihara janggut, meski telah memutih,
agar kamu bisa ‘melihat’ para malaikat bergelantungan disini dan agar kamu selalu bisa mengenali ayah.”

Dan ayah juga penah berpesan: "Mbak, jangan cengeng ya meski kamu ini adalah seorang wanita, jadilah selalu bidadari kecil ayah dan bidadari terbaik untuk ayah anak-anakmu kelak! Seorang laki-laki yang lebih bisa melindungimu melebihi perlindungan Ayah, tapi jangan pernah kamu gantikan posisi Ayah di hatimu."

Ohh ayah. Baru aku meyakini, bahwa betapa beruntungnya aku memiliki ayah sepertimu. Ayah terbaik sepanjang perjalanan hidupku. Seorang ayah yang memberi banyak pelajaran kehidupan.

Ayah..
Namamu kan selalu terpatri.
Meski sedikit perhatian yang tercurah.
Bagiku sudah sangat berarti.

Ketika peluhmu mengalir.
Yang begitu agung, maka..
Tercucilah rindu.
Pada alunan kata yang sejuk.

Terima kasih ayahku. Untuk setiap peluh yang kau teteskan, untuk setiap kerut dahimu yang tidak sempat kuhitung, untuk setiap jaga sepanjang malam ketika aku sakit dan ketika kau merindukanku, untuk tetes ‘air mata laki-laki’ yang begitu mahal ketika kau mengkhawatirkan aku, untuk kepercayaanmu padaku, meski seringkali ku hianati. Sungguh tidak akan pernah bisa terbalas segalanya. Dan aku mencintaimu karena-Nya.